Seiring berkembangnya regulasi perizinan di dunia medis, pada 2008 ada kewajiban mendaftarkan lagi samarium ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin edar samarium Batan akhirnya keluar pada 2016.
Setahun berselang, karya Batan itu diedarkan ke sejumlah rumah sakit di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Belum di semua kota di tanah air memang. Karena itu, pasien seperti Evie yang berasal dari Palembang harus terbang dulu ke Jakarta.
Menurut Kepala Bidang Teknologi Radiofarmasi, Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Batan Agus Hariyanto, keputusan pasien kanker menggunakan samarium atau tidak ada di tangan dokter yang menangani. Umumnya, pengguna adalah pasien kanker yang sudah stadium IV.
”Biasanya mereka pakai morfin dahulu. Baru kalau sudah nyerah, pakai samarium.”
Terapi samarium, kata Evie, lebih untuk menghilangkan rasa nyeri. Efek membunuh sel kankernya sedikit. Sementara itu, untuk kemoterapi, efek membunuh sel kankernya cukup kuat. Sedangkan efek menghilangkan rasa nyerinya sangat kecil. Sehingga kedua terapi tersebut saling melengkapi.
Nah, karena merasa tulangnya sudah tidak nyeri, dia agak meremehkan sel kanker di dalam tubuh. Ternyata, pada Oktober 2018, dia kembali merasakan nyeri pada tulang. Tepatnya di bagian kaki. ”Kaki saya ngilu lagi. Jalan pincang-pincang,” kenangnya.
Setelah diperiksa, ada sel kanker baru yang ditemukan di tulang pangkal paha dan pinggul. Evie pun menjalani terapi samarium yang ketiga seusai melewati serangkaian pemeriksaan.
Injeksi samarium yang ketiga itu dilakukannya pada Jumat pekan lalu di RSCM. Dia ditangani dr Alvita Dewi Siswoyo SpKN MKes. Saat itu Evie mendapat dosis Samarium (Sm-153) EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat) dengan takaran 50 mCi.
Pembuatan samarium biasanya dimulai pada Jumat sore. Diawali dengan proses radiasi serbuk samarium yang ditempatkan di sebuah batangan besi. Demi keamanan, batangan besi itu dicor. (*)