JAKARTA – Keputusan PSI mengangkat isu poligami ternyata tidak salah. Terbukti, elektabilitas partai yang baru pertama kali ikut pemilu itu terus naik.
Berdasarkan hasil survei Y-Publica, partai yang dikomandoi Grace Natalie memiliki reaihan elektabilitas 2,9 persen. Angka itu naik 0,3 persen dibanding survei pada November-Desember 2018.
”Elektabilitas PSI naik karena sukses memainkan strategi diferensiasi yang ideologis,” ujar Direktur Y-Publica Rudi Hartono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kemarin (14/1).
Y-Publica kembali menggelar survei pada 26 Desember 2018 hingga 8 Januari 2019. Survei itu melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak atau multistage random sampling. Survei ini diklaim memiliki margin of error sebesar lebih kurang 2,98 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Rudi Hartono menyebut, PSI selama ini mampu memainkan strategi diferensiasi atau pembeda yang ideologis. Contohnya pada penolakan perda berbasis agama dan poligami. Strategi itu mampu membawa keuntungan ganda bagi PSI. Partai itu pun perhatian dan sorotan publik.
Pada isu penolakan terhadap poligami, PSI mendapat simpati dari banyak perempuan, kelompok liberal, dan kelas menengah terdidik. Tidak ketinggalan juga sebagian kaum moderat dan anak-anak muda berpikiran progressif.
”Dalam survei kami ditemukan mayoritas perempuan menentang poligami. Ini basis potensial untuk dukungan elektoral bagi PSI,” paparnya.
Kata Rudi, strategi yang dimainkan PSI ini agak mirip dengan yang dipraktikkan oleh partai Berkarya. Partai besutan Tommy Soeharto itu gencar dan terang-terangan mendefenisikan diri sebagai pewaris Orde Baru.
”Dengan jualan Orde Baru Partai Berkarya berharap bisa menyeret orang-orang yang masih menyimpan rindu akan Orde Baru. Apalagi Golkar dan partai sempalannya meninggalkan narasi ini,” ungkapnya.
Hasilnya dari survei Y-Publica, elektabilitas Partai Berkarya pun naik tipis menjadi 0,9 persen. Pada survei November-Desember 2018 partai itu hanya memperoleh eletablitas 0,8 persen. (jpc/rie)