KETUA Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Dadan Ramdan menyebutkan pihaknya mencatat ada 253 berbagai di Jawa Barat selama 2018.
”Dari mulai tanah longsor, angin puting beliung, dan juga gerakan tanah yang terjadi sepanjang tahun 2018 kemarin,” ungkap Dadan dalam siaran persnya, kemarin (2/1).
Dadan mengatakan, dari 253 bencana yang terjadi di Jawa Barat, sedikitnya ada 90 orang korban yang terkena dampak dari bencana yang dialami.
”Ada sekitar 90 orang korban, termasuk korban tanah longsor yang terjadi kemarin di Sukabumi, dan yang paling banyak terjadi adalah tanah longsor,” kata Dadan.
Penyebab terjadinya tanah longsor kata Dadan, karena secara topografi wilayah Jabar itu didominasi oleh pegunungan dan perbukitan. Begitupun dengan kondisi tanah yang sangat lentur bisa dengan mudah terjadi erosi dan menyebabkan tanah longsor.
”Ditambah budaya atau adat membangun pemukiman di dataran tinggi, ini kita relatif sulit menghilangkan budaya masyarakat, karena mereka tak lepas dari gunung dan air,” jelasnya.
Selain itu, Walhi juga meminta pemerintah provinsi dan kabupaten / kota, untuk meminimalkan risiko bencana yang terjadi di Jawa Barat.
Meskipun sebut dia, Jawa Barat yang memiliki topografi wilayah yang bisa kapan saja mengundang bencana, akan tetapi hal tersebut bisa diminimalisir dengan berbagai upaya mitigasi.
”Pemerintah dan semua pihak harus membangun kesiapsiagaan warga di musim penghujan. Dengan edukasi, sosialisasi pelatihan mitigasi bencana untuk meminimalkan resiko. Sehingga warga juga bersemangat untuk menjaga keselamatannya,” kata Dadan.
Walhi juga meminta pemerintah untuk mengkaji kembali tata ruang wilayah. Karena sampai saat ini, kebijakan tata ruang wilayah masih belum sensitif terhadap dampak dari pembangunan kepada risiko bencana.
”Kebijakan tata ruang wilayah di Jabar, seperti pemerintah provinsi, kabupaten/kota, bahkan di level nasional belum mengutamakan risiko bencana,” kata Dadan.
Dadan menyontohkan, pembangunan jalan tol, kereta api cepat, dan bendungan malah dibangun di wilayah yang sangat rawan terjadi bencana. ”Belum maksimal kajian tata ruang wilayah yang sensitif terhadap bencana,” pungkasnya. (yud/ign)