Kemiskinan Etika yang Merusak Suasana Duka

Hal ini dibuat semakin pelik, ketika masyarakat kembali dihebohkan dengan kasus foto selfie yang dilakukan oleh beberapa wanita, yang di mana foto selfie tersebut mengambil latar belakang tempat yang hancur karena terkena dampak tsunami. Perilaku tersebut kini menjadi viral di media sosial maupun di dunia internasional. Bahkan media dari Inggris yang bernama The Guardian pun menulis berita yang menyatakan bahwa, beberapa wanita tersebut melakukan foto selfie karena mempunyai motif untuk menghasilkan foto selfie yang sempurna. Terlebih lagi The Guardian pun melaporkan bahwa beberapa wanita tersebut tidak menampilkan raut wajah yang sangat sedih, namun mereka hanya menampilkan ekspresi kesenangan yang sangat tidak tahu diri. Sangat disayangkan memang, ketika negeri ini masih belum sembuh dari luka bencana alam yang sangat menyakitkan itu, namun justru beberapa masyarakat yang tidak mempunyai etika tersebut kembali menciptakan luka baru yang justru semakin membuat negeri ini tidak berdaya.

Kemiskinan etika yang dialami oleh beberapa wanita tersebut memang dilandasi oleh obsesi virtual untuk mendapatkan likes terbanyak di media sosialnya. Ketika foto tersebut sudah di upload, maka mereka akan sangat senang jika foto tersebut menjadi human interest bagi para pengguna media sosial lainnya. Tetapi yang patut untuk direfleksikan kembali ialah, mengapa dunia yang palsu tersebut selalu menjadi destinasi untuk menciptakan suatu kesenangan? Bukankah media sosial adalah dunia maya, atau dunia yang tidak nyata? Lalu, untuk apa dunia kepalsuan tersebut menjadi landasan untuk menciptakan kesenangan? Memang tidak logis, bukan? Maka dari itu, kemiskinan etika disaat suasana yang sedang berduka seperti ini, sudah tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar, karena selain membuat masyarakat menjadi resah, tetapi juga kemiskinan etika tersebut sudah mendapatkan stigma negatif dari media asing.

Sangat tidak pantas memang ketika masyarakat masih berduka, tetapi justru di sisi lainnya, kemiskinan etika tersebut masuk ke dalam ruang publik, dan merusak suasana duka yang terjadi saat ini. Nampaknya kepedulian masyarakat di Indonesia memang masih mengalami berbagai macam permasalahan yang sampai saat ini tidak kunjung terselesaikan. Entah mengapa juga masyarakat di Indonesia masih senang dengan hal-hal yang tidak bermutu dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Jadi pada intinya, kemiskinan yang paling berbahaya bukan hanya kemiskinan materi, tetapi yang paling berbahaya ialah, kemiskinan etika. Karena ketika seseorang sudah mengalami kemiskinan etika, maka hal apapun yang ia lakukan akan selalu dianggap sebagai hal yang sangat benar.

Tinggalkan Balasan