Kemudian Si Geulis. Inovasi ini mendorong budaya literasi di Kota Bandung. Di mana siswa dan guru, baik pribadi atau pun kolaborasi mengarah pada mengarah pada melihat, menulis, bermusik, hingga menggambar. Guru dan murid tersebut harus bisa menuliskan apa yang mereka baca dan rasakan.
”Inovasi ini lebih kepada membiasakan guru untuk bisa menuliskan ilmu yang mereka dapat (berliterasi). Harapanya peserta didik lebih melihat langsung hasil dari guru mereka. Dengan begitu mereka pun terdorong karena mencontoh guru mereka,” jelasnya.
”Literasinya tidak perlu yang sulit-sulit. Puisi, esai bisa dituliskan. Yang penting menjadi kebiasaan dan dibuat buku. Sebab, buku itu identitas diri,” sambungnya.
Ketiga, Puber. Inovasi ini merupakan upaya mengatasi sulitnya merotasi guru. Belum lagi, ilmu guru dan komunikasi mereka berbeda-beda dan terkadang menumpuk di satu daerah.
”Makanya, jika satu guru diketahui memiliki metode yang baik dalam pengajaran, maka diharuskan untuk membuat video pengajaran. Harapannya, bisa dikloning dan menularkan ke guru lain tanpa malu untuk mengikuti,” urainya.
Terakhir namun tidak kalah penting Ngabaur. Di Kota Bandung, kata Elih, sudah ada beberapa pendidikan karakter yang diterapkan. Seperti Rebo Nyunda, Kreasi Budaya Sunda. Tapi, metode pendidikan karakter tersebut belum terdokumentasikan dengan baik. Sehingga daerah lain tidak bisa melihat apa sih keunggulan pendidikan karakter di Kota Bandung.
”Ini (Rebo Nyunda, Kreasi Budaya Sunda, Red) penting untuk didigitalisasi . Tidak hanya sebatas dokumentasi, tapi akan ada input lain, seperti masukan dan kritik membangun sehingga kita terus belajar dan meningkatkan mutu pendidikan,” paparnya.
Menurut Elih, empat inovasi pendidikan tersebut merupakan upaya terus belajar dari Dinas Pendidikan Kota Bandung dalam menyelaraskan visi dan misi Kota Bandung Semakin Juara.
”Menjadi juara bukan sampai hari ini, tapi terus melakukan pembelajaran agar lebih baik, dan lebih baik lagi,” tandansya. (rie)