JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua orang sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, kedua tersangka yakni masing-masing Direktur Utama (Dirut) Perum Jasa Tirta II, Djoko Saputro dan seorang pihak swasta bernama Andririni Yaktiningsasi.
”Terkait hal tersebut, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan dua orang sebagai tersangka,” ujar Febri dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, kemarin (7/12).
KPK menduga, Djoko telah menyalahgunakan jabatannya dalam pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017. Bentuk penyalahgunaan itu berupa perintah untuk merevisi anggaran perusahaan. Revisi itu dilakukan dengan menambah anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan strategi korporat yang semula Rp 2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.
”Secara rinci anggaran itu untuk perencanaan strategis korporat dan proses bisnis senilai Rp 3,820 miliar serta pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan senilai Rp 5,730 miliar,” papar Febri.
Febri menambahkan, pengubahan tersebut diduga dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti misalnya meminta usulan dari unit perusahaan lain.
Djoko kemudian diduga memerintahkan pelaksanaan kedua kegiatan itu kepada Andririni. Dalam pelaksanaannya, Andririni menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center (BMEC) dan PT 2001 Pangripta.
Hingga 31 Desember 2017, realisasi penerimaan pembayaran kegiataan tersebut baru dikucurkan senilai Rp5.564.413.800. Secara rinci, Rp2.204.155.800 bagi perencanaan strategis korporat dan proses bisnis, serta Rp3.360.258.000 untuk pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan.
Selain itu, KPK juga menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak PT BMEC dan PT 2001 Pangaripta dimasukkan tanpa izin. Hal ini dilakukan sebagai formalitas demi memenuhi administrasi lelang. Lelang tersebut diduga dilaksanakan secara rekayasa dengan penanggalan mundur (backdated).
Perbuatan ini, kata Febri, mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara sedikitnya Rp3,6 miliar. Angka tersebut ditilik dari keuntungan yang diterima Andririni atau sekitar 66% dari total dana yang dibayarkan.