Eni mengaku, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan persatuan buruh lainnya dan berencana melakukan aksi yang bertujuan, meminta Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil agar menyampaikan kepada pemerintah pusat mengenai keberatan mereka tentang kenaikan upah menggunakan PP 78.
”Dengan adanya kenaikan 8,03 persen bagi kami tidak naik, hanya penyeimbang saja. Buat kami merugikan, menguntungkan perusahaan,” ujarnya.
Bagi buruh, kata Siti Eni, PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini sangat mengkebiri gerakan buruh. ”Tetapi kami tak diam, kami mempunyai wacana bagaimana supaya gerakan buruh tetap ada dan aspriasi tetap mengena kepada pemerintah,” tandasnya.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Cimahi (Disnakertrans) Kota Cimahi Supendi Heryadi mengatakan, penetapan besaran UMP Jabar 2019 tidak terlalu berdampak pada besaran rekomendasi UMK Kota Cimahi 2019.
”Tidak terlalu banyak pengaruh, kita sudah punya besaran UMK untuk 2019. Untuk penetapannya, melalui rapat pleno Dewan Pengupahan Kota Cimahi yang akan digelar 15 November 2018 ini,” ujarnya melalui sambungan telefon.
Terkait pencabutan Pergub Jabar, lanjut Supendi, juga belum memberi pengaruh bagi Kota Cimahi. ”Sejauh ini belum ada kesepakatan soal UMSK. Jadi dengan dicabutnya pergub tersebut tidak ada dampak. Untuk tahun 2019, akan diupayakan ada kesepakatan bipartit antara buruh dan pengusaha sesuai amanat PP 78,” katanya.
Senada dengan Eni, Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Provinsi Jawa Barat pun menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar 2019.
Ketua FSPMI Jawa Barat, Sabilah Rosyad, mengatakan, penolakan penetapan UMP Jabar tahun 2019 yang mengacu pada PP nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan dan formula kenaikan upah minimum tersebut bertentangan dengan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Buruh dan Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat.
”Kami menolak penetapan UMP sebesar 8,03 persen karena kenaikannya hanya Rp 124 ribu, sedangkan kenaikan kontrakan saja tiap tahun naiknya Rp 100 ribu. Artinya sisa Rp 24 ribu dan tidak akan cukup buat transportasi yang kerap naik Rp 500 hingga Rp 1.000 ribu,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (1/11).
Menurutnya, kenaikan upah buruh tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan ril kaum buruh, sehingga dalam setiap bulannya para buruh dipastikan akan tetap mengalami defisit gaji yang diterima dari perusahaannya.