”Dan kenaikkan harga itu akan menimbulkan inflasi. Selanjutnya inflasi akan memangkas daya beli masyarakat. Dengan terpangkasnya daya beli, maka suka atau tidak suka Presiden Jokowi sudah bisa dinilai gagal dalam membangun perekonomian negara,” tutur Noorsy.
Noorsy menjelaskan kegagalan Jokowi itu ditutupi oleh sanjungan atau pujian yang diberikan pihak asing seperti IMF dan bank dunia. Padahal ditegaskan Noorsy, sanjungan dan pujian yang diberikan pihak asing itu jelas menunjukkan nilai tukar rupiah semakin terpuruk dan jatuh.
”Dua hal itu akan berdampak kepada elektabilitas Jokowi yang menurun. Seberapa besar menurunnya tergantung seberapa dalam tidak mampunya masyarakah dalam membeli harga-harga,” katanya.
Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan kejutan biasanya menyenangkan, tetapi kali ini kurang menyenangkan. Tampaknya publik dibuat terkejut-kejut oleh Kemeterian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina. Betapa tidak, harga premium dinaikkan, tidak lama berselang dibatalkan. Sangat wajar bila akal sehat publik bertanya, mengapa bisa begitu tiga instansi pemerintah ini?
”Apakah masih belum berjalan baik koordinasi dan komunikasi antar tiga instasi tersebut? Atau ada ego sektoral di antara mereka? Atas pertaanyaan tersebut, tiga instasi ini belum tentu bersedia mengurainya. Saya berhipotesa, mereka lebih cenderung akan membiarkan seperti angin lalu. Biasalah,” katanya.
Pekan ini, kata Emrus, di berbagai media memuat kenaikan harga BBM Premium dari Rp 6.550 per liter menjadi menjadi Rp 7.000 per liter, dibatalkan.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, mengemukakan bahwa rencana kenaikan harga Premium di Jamali (Jawa, Madura dan Bali) ditunda. Alasan penundaan yang dimuat di berbagai media sangat sederhana, hanya karena ketidaksiapan Pertamina melaksanakannya.
Ketidaksiapan Pertamina tersebut, lanjut Emrus, bisa jadi memunculkan sejumlah pertanyaan lanjutan antara lain; Mengapa perusahaan sebesar Pertamina belum siap. Bukankah Pertamina sudah dikelolah dengan sangat professional dengan dukungan Dana yang sangat besar untuk mempekerjakan sumberdaya manusia yang handal, sehingga mampu mengantisipasi dan mengelola kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi? Apalagi, bukankah kenaikan harga Premium menambah pemasukan bagi Pertamina?