Kalau Mood Lagi Jelek, Mending Nggak Usah Baca

Para reader harus siap jadi apa saja saat memproduksi ”buku bicara”: orang Jawa, orang Batak, guru ngaji, atau penyanyi. Betah karena merasa bisa mengajak penyandang tunanetra menjelajah dunia.

AGUS DWI PRASETYO, Bandung

ADA mikrofon dan headphone menggantung di depan layar monitor komputer. Juga, sebuah kotak sound berukuran kecil yang tersambung ke peranti-peranti tersebut.

Audio mikser dengan berbagai tombol warna-warni melengkapi. Yang tak ada di hanya cuap-cuap penyiar. Dan, dentuman alunan musik.
Ruangan di perpustakaan Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso, Bandung, itu memang bukan studio siaran radio. Melainkan, studio rekaman untuk membuat audio books dan full text audio.

”Buku bicara” itu diperuntukkan tunanetra (audio books) dan penyandang ”low vision” (full text audio) yang memang memiliki keterbatasan penglihatan. ”Tempat ini untuk produksi buku bicara,” kata Rosanti Herawati, 47.

Aktivitas merekam buku dari visual menjadi audio itu hampir setiap hari dilakukan di studio tersebut. Rosanti termasuk salah seorang reader (pembaca) Abiyoso.

Namun, perempuan 47 tahun itu bukan pegawai BPBI. Melainkan, hanya relawan alias volunter yang secara sukarela menyumbangkan suara.
Rosanti tidak sendiri. Total ada 22 relawan lain yang aktif dalam komunitas Reader Abiyoso. Mereka silih berganti datang. Hanya sesekali berkumpul dalam formasi lengkap.

”Mulai ada relawan Reader Abiyoso sejak 2010,” ujar Widya Kameswara, relawan lain.

Banyak yang mengira, mengonversi buku visual ke versi audio adalah suatu hal mudah. Namun, saat Jawa Pos mencoba, ternyata cukup rumit.
Reader harus mengucap kalimat dengan intonasi yang tepat. Juga, menghayati isi cerita dari buku yang dibaca. ”Kalau mood-nya lagi jelek, mending nggak usah baca,” ujar Rukmi Widayanti, relawan lain.

Ya, penghayatan memang kunci utama memproduksi buku bicara. Sebab, itu berpengaruh pada kualitas suara. Semakin bagus mood, makin ”renyah” pula audio yang dihasilkan.

”Kalau itu buku cerita, ya intonasinya harus seperti orang mendongeng,” imbuh Yanti, sapaan Rukmi Widayanti. ”Membacanya harus pakai hati biar suaranya enak didengar,” terang perempuan 45 tahun itu.

Selain mood yang harus baik, ada beberapa tantangan lain yang mesti dilalui setiap reader. Di antaranya, memperhatikan ejaan atau spelling kata berbahasa asing.

Tinggalkan Balasan