BANDUNG – Sejumlah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa atas mahalnya biaya pendidikan. Para mahasiswa tersebut menawarkan organ tubuh mereka yang sengaja dijual demi kebutuhan kuliah.
Dalam aksinya, mereka membentangkan kertas karton bertuliskan organ tubuh lengkap dengan harganya. Organ tubuh yang akan dijual di antaranya mata, ginjal dan hati dengan harga yang variatif. Mereka menawarkan ginjal dengan harga 30 juta, hati 28 juta dan mata 30 juta.
Koordinator Aksi, Yetno mengatakan, penjualan organ tubuh tersebut merupakan bentuk protes terhadap rektorat yang menerapkan mahalnya uang pangkal bagi mahasiswa baru yang mencapai puluhan juta. Pihak rektorat UPI dinilai telah berlaku tidak adil dengan pemberlakuan uang pangkal yang mahal tersebut.
“Ini protes kami terhadap ketidakadilan yang diterapkan rektorat UPI, apalagi uang pangkal tersebut langsung diterapkan pada jurusan baru sebesar Rp 29,7 juta,” kata Yetno di Bandung (09/07).
Dikatakan dia, uang pangkal tersebut tidak akan dinikmati mahasiswa pada tahun ajaran baru yang dibuka pihak UPI. Terlebih, banyak mahasiswa yang kurang mampu tapi ingin kuliah di UPI melalui jalur mandiri. Namun, mahalnya biaya yang diberlakukan tersebut dianggap sangat memberatkan.
“Yang ikut tes itu bukan hanya mahasiswa mampu tapi ada juga yang kurang mampu, lalu mereka yang kurang mampu apakah tidak boleh kuliah, harus kemana mereka,” kata dia.
Menurutnya, penerapan uang pangkal tersebut merupakan bentuk liberalisasi pendidikan atau sistem komersialisasi di dalam dunia pendidikan. Seharusnya, lanjut dia, pendidikan yang ada di negara ini disamaratakan tapi sekarang seperti diperjualbelikan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
“Jelas pendidikan tak lagi sama bagi masyarakat dengan pungutan uang pangkal atau biaya yang begitu besar. Padahal pendidikan itu harusnya tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tapi semua golongan” kata dia.
Sementara itu, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI, Muhammad Fauzan mengatakan, uang pangkal dengan jumlah mencapai 20 hingga 30 juta tersebut dinilai sangat memberatkan. Selain itu, hal tersebut dinilai dirinya sebagai upaya perampasan hak warga negara untuk mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia.