Impian jadi Dokter, Anak Penggali Kubur

Setelah mengetahui lulus Inka beserta kedua orang tuanya menangis haru sambil sujud sukur. Sebab, usaha dan jerih payah membiayayai selama bersekolah membuah hasil membanggakan.

“Bapak tidak bisa bilang-bilang apa-apa lagi hanya bisa bilang Allohuakbar, mungkin gak nyangka,” ucap Inka sambil kedua bola matanya berkaca-kaca.

Sambil menyeka air mata yang mulai menetes Inka tak ingin terbangun jika kenyataan ini hanya sebuah mimpi. Namun Inka sadar, dengan keyakinannya yang selalu dijaga. Keyakinan hasil dari kerja keras dalam belajar berbuah takdir manis.

’’Menjadi dokter adalah cita citanya sejak duduk di kelas II SMP,”lirih Inka sambil berderai air mata.

Sambul menenang diri, Inka mengaku optimis bisa kuliah meski keadaan orang tuanya buka dari keluarga berada.

Gadis berkacamata ini merasa yakin, urusan rejeki yang maha kuasa akan selalu memberikan kemudahan selama manusianya mau berdoa dan berusaha.

Bahkan, ketika SMA dulu Ayahnya pernah menjual TV kesayangan keluarga hanya untuk membayar seragam sekolah yang nunggak.

’’Sampai sekarang saya mah tak pernah tahu acara TV, setelah televisinya dijual bapak, dan masuk SMA juga menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM),” ucap dia sembari tertunduk malu.

Untuk menuju sekolah, selama tiga tahun Inka bulak balik sekolah dengan berjalan kaki. Meski jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Bahkan, Inka sering menahan lapar dan tidak pernah membawa uang saku ke sekolah.

Ayah Inka bekerja serabutan sebagai tukang gali kubur, setiap hari penghasilan tidak menentu. Sedangkan ibu tercinta sudah lama meninggalkannya sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Inka kini hanya tinggal dengan ayahnya yang sekarang sudah mulai menua dan kerap mengalami sakit Asma dan Hernia.

“Mamah sekarang ada di Cianjur, hingga saat ini belum ada komunikasi lagi, kalau komunikasi itu tersendat sendat. Sekali komunikasi kemudian lama gak komunikasi lagi. Terakhir komunikasi itu tahun 2017,” kata seraya selalu memendam rindu ingin bertemu dengan ibunya.

Meski kehidupan Inka tak seberuntung seperti remaja lain seusianya, namun tak menjadikan Inka minder saat berkumpul dengan teman temanya di sekolah.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan