MUNGKIN yang dimaksud sekolah favorit dalam perbincangan sehari-hari masyarakat pendidikan saat ini sederhananya adalah sekolah-sekolah bagus. Guru-gurunya bagus. Fasilitas dan manajemen sekolah juga bagus.
Sekolah ini diminati banyak orang, sehingga seleksi masuknya ketat. Otomatis anak-anak yang diterima adalah anak-anak pintar belaka. Karenanya, prestasi akademik siswa-siswanya juga bagus. (Hasanudin Abdurakhman, 2017). Dalam nomenklatur Kemendikbud sekolah seperti ini, anggap saja setara dengan sekolah yang Memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) atau mungkin lebih.
Bila benar definisi itu yang dimaksud, maka sejak tahun lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyatakan, tidak boleh lagi ada sekolah favorit atau tidak favorit dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017. ”Tidak boleh ada satu pun siswa yang tidak mendapatkan bagian kursi, tidak boleh lagi ada sekolah yang favorit atau tidak. Semua harus dibikin semerata mungkin, karena program kita ini adalah program pemerataan pendidikan yang berkualitas,” kata Muhadjir di Surabaya, Minggu 9 Juli 2017.
Sampai saat ini pernyataan Mendikbud ini belum dicabut. Artinya, masih relevan untuk dijadikan dasar kebijakan dalam PPDB tahun 2018 ini.
Lalu pertanyaanya apa yang salah dengan ide perlunya jalur khusus sekolah favorit? Mari kita simak bersama:
Pertama, mengacu kepada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), tak satupun dijumpai istilah Sekolah Favorit ataupun Non Favorit. Dari sisi yuridis formal kita harus terlebih dahulu memahami makna dari UU tentang Sisdiknas ini agar terhindar dari mispersepsi dan misunderstanding tentang klasifikasi sekolah.
Apalagi, sampai melontarkan gagasan keberpihakan yang landasan hukumnya tidak jelas. Mungkin baik secara itikad. Tapi tidak baik secara aturan. Pernyataan perlu adanya jalur khusus sekolah favorit yang inputnya adalah siswa dari kalangan berada, bukan saja nyeleneh. Tapi juga bias dari UU tentang Sisdiknas. Lebih dari itu akan menimbulkan masalah kompleks dan saling berkaitan di masyarakat.
Bahkan, sangat mungkin masyarakat akan digiring pada pemikiran bahwa proses pendidikan (sekolah favorit) itu adalah, proses yang dilandasi pada ketersediaan ’’materi”. Sehingga, dengan jalur khusus ini praksis pendidikan (bermutu) bisa dibeli. Ujung-ujungnya komersialisasi pendidikan semakin mendapat pembenarannya. Bila kondisi demikian yang dimaksud, maka sadar atau tidak sadar kita telah membuat pernyataan tentang upaya melestarikan kesenjangan dalam praksis pendidikan dewasa ini. Membuka jalur khusus sekolah favorit, adalah suatu bentuk kesenjangan yang dilestarikan.