”Jadi saya tidak termasuk mereka yang mengkritisi utang pemerintah. Utang pemerintah sangat lazim di semua negara,” tegas Pieter.
Namun menurutnya, kita memang perlu mengkritisi. Terutama untuk utang luar negeri. ”Kita membayarnya pakai dollar. Kemampuannya tidak cukup besar. Walaupun devisa ada dari kegiatan ekspor impor. Utang luar negeri kita tidak cukup baik, mencapai 29 persen. Beda dengan Jepang dan Malaysia yang hanya 5 persen. Terlebihnya utang domestik. Ngaturnya gampang,” jelas Pieter.
Kalau utang luar negeri menurutnya, ada tekanan nilai tukar. Utang kita sehat, Pieter sependapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Namun dari total utang seperempatnya tidak domestik. Asing. Penilaian semua negara, kita memang mampu bayar,” ujarnya.
Tetapi, yang sehat itu jangan banyak utang luar negeri. “Harusnya utang dalam negeri, supaya ngaturnya gampang,” jelas Pieter.
Menurutnya, pembayaran utang akan membuat tekanan pada nilai tukar. Belum lagi jatuh tempo utang swasta. ”Jatuh tempo akan berpengaruh,” tambah Pieter. Saat ini menurutnya, Indonesia memiliki cadangan devisa sekitar USD130 miliar.
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti, seperti dikutip dari laman resmi Kemenkeu, Jumat lalu (13/4) menyebutkan, lembaga pemeringkat Moody’s memberikan kenaikan rating utang (rating upgrade) bagi Indonesia. Dari Baa3 positive outlook menjadi Baa2 stable outlook (setara dengan level BBB). Dengan demikian, Indonesia sudah mendapat peringkat Baa2/BBB dari empat lembaga, yakni Fitch (Desember 2017), JCRA (12 Februari 2018), R&I (7 Maret 2018), dan Moody’s.
Dalam laporannya, Moody’s menyatakan, peningkatan rating ini didukung antara lain oleh kerangka kebijakan Pemerintah dan otoritas lainnya yang lebih kredibel dan efektif dalam mendukung stabilitas kondisi ekonomi makro. Menurut Moody’s, kebijakan fiskal yang lebih hati-hati serta kebijakan moneter yang kondusif dapat meredam tekanan yang bersumber dari internal maupun eksternal. Moody’s juga menilai, membaiknya diversifikasi basis ekspor turut mendukung terjaganya stabilitas perekonomian, khususnya dalam perbaikan defisit neraca transaksi berjalan. Selain itu, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan stabil serta sistem perbankan yang sehat turut menjadi catatan positif dalam kenaikan rating Indonesia. Dari sisi fiskal, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selalu berada di bawah 3 persen menjadi indikasi disiplin Pemerintah dalam menjaga keberlangsungan dan kesehatan fiskal. Berdasarkan hasil proyeksi Moody’s, dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan akselerasi belanja produktif, tingkat utang Pemerintah Indonesia akan tetap di bawah negara lainnya yang berada dalam kelompok investment grade. Hal ini menunjukkan optimisme pihak eksternal terhadap kesehatan fiskal Indonesia, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang.