Selain itu, pihaknya melihat bagaimana pembangunan yang masif di kawasan yang seharusnya tidak boleh ada bangunan komersial. Di kawasan tersebut banyak ditemukan hotel maupun perumahan elit, yang seharusnya merupakan wilayah hijau.
”Berdasarkan survei banyak bangunan cafe dan hotel yang perizinannya belum jelas, masih saling tuding siapa yang memberikan. Ini juga salah satu fungsi dari mendorong dengar pendapat tersebut, agar diketahui siapa sebenarnya yang menghambat atau tidak bekerja,” tuturnya.
Dikatakannya bahwa pemegang kebijakan harus bertanggung jawab dalam persoalan KBU sesuai Perda no 2 tahun 2016. Karena baginya persoalan banjir di Kawasan Jatihandap merupakan peringatan dini, dimana masih ada kemungkinan bencana yang lebih parah jika terus dibiarkan.
”Ini bisa lebih parah dibanding yang terjadi di Jatihandap kalau kerusakan yang terjadi di KBU terus dibiarkan. Maka perlu langkah dan inovasi baru agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan,” ujarnya.
Dia juga menilai pelebaran kawasan hutan lindung Ir. H Juanda sebagai pengalihan isu. Sehingga masyaramat lupa dengan kerusakan di KBU. ”Kenapa harus di perluas, yang masalahkan kan bukan di wilayah sana tapi di wilayah sebelah timur,” sebutnya.
Pihaknya meminta agar pimpinan DPRD Jabar turut berperan aktif untuk mengundang terlebih dahulu Dinas PMPTSP (Penanaman Modal Perijinan Terpadu Satu Pintu) propinsi kabupaten dan kota untuk rapat koordinasi di DPRD.
“Pimpinan Dewan harus memanggil Kepala Dinas PMPTSP provinsi, kabupaten dan kota untuk mengevaluasi tentang perijinan sudah dan yang akan diterbitkan, karena ternyata di sekitar hulu KBU banyak sekali bangunan mewah dan hamparan lahan yang sudah beralih fungsi. Untuk itu harus segera ditertibkan,” pungkasnya. (pan/ign)