Semua itu bermula di hari kedua saya berada di Madinah. Sehari sebelumnya kami tiba dari Surabaya setelah matahari tenggelam. Enam cucu yang masih kecil membuat kami tidak bisa bergegas langsung ke masjid Nabi untuk ikut berjamaah salat isya. Kami ke hotel dulu.
Jam 2 dini hari saya bangun. Sengaja. Untuk kembali ke masjid Nabawi. Hanya satu blok dari hotel. Saya ketok dulu kamar Azrul Ananda, anak sulung saya. Ternyata dia juga sudah bangun. Lagi makan burger. Saya ajak dia ke masjid. Untuk salat malam. Mumpung Raudlah mestinya masih lebih sepi.
Tempat salat di sebelah makam Nabi Muhammad SAW itu biasanya penuh sesak. Sulit sekali mencapai area itu. Apalagi memasukinya.
Beberapa jam yang lalu, habis makan malam di hotel, kami sudah rame-rame ke masjid Nabawi yang megah dan besar itu. Untuk salat isya dan beberapa salat sunnah lainnya. Saat itu niat ke area Raudlah juga ada. Tapi hil itu akan mustahal.
Kami pilih segera tidur saja. Agar bisa bangun jam 2 dinihari. Untuk ke masjid lagi. Pada jam 2 seperti itu saya dan Azrul bisa masuk Raudlah. Sholat sendiri-sendiri. Diselang seling dengan membaca Quran.
Saya lirik Azrul salat dengan tingkat kekhusukan yang tinggi. Saya tahu dia sulit duduk dalam posisi takhiyat akhir. Ada besi di dalam lututnya. Sejak cedera saat main sepakbola dulu.
Ini untuk pertama kalinya Azrul mau diajak umrah. Sehingga baru kali ini saya bisa umrah sekeluarga lengkap. Istri, anak-anak, menantu-menantu dan enam cucu.
Habis subuh, setelah matahari terbit, kami janjian untuk bertemu seluruh keluarga di Starsbuck. Tidak mungkin kami saling mencari di dalam masjid yang begitu besar dan begitu penuh.
Sambil menunggu matahari terbit saya duduk-duduk di plaza depan makam Nabi. Ratusan payung raksasa di plaza itu mulai dimekarkan serentak. Membuka secara otomatis. Gerakan yang sangat masif dan indah. Banyak yang menyaksikannya. Banyak pula yang minta foto bersama. Kadang saya malu dilihat orang saat mereka maksain minta foto bersama di dalam masjid.