Elda Melukis Tanpa Batas

BANDUNG – Secara perlahan kanvas polos itu mulai menemukan warna setelah tangan Elda Fahmi, menggoreskan kuas. Ditamham perempuan yang berumur 17 tahun itu, garis dan lingkaran yang awalnya tak jelas akhirnya berubah menjadi sebuah gambar syarat makna.

”Saya ingin menggambarkan hehidupan yang sedang saya rasakan sekarang,” kata Elda mengartikan gambar yang dibuatnya.

Dengan keterbatasan penglihatan, Elda bukanlah seorang seniman yang mahir memvisualisasikan apa yang sedang dia rasakan menjadi sebuah gambar yang paripurna. Terlebih, selama hidupnya dia hanya mengenal satu warna, yaitu gelap tanpa tahu ada warna selain itu.

”Gerigi ini menggambarkan kehidupan yang berjalan terus, warna hitam dan putih menggambarkan sebuah pilihan negatif dan negatif. Hijau mencari kehidupan, merah itu tekad keputusan berubah atau tidak,” imbuhnya.

Bukan tanpa kendala, Elda yang dibantu seorang relawan dalam membuat bentuk dan memilih warna yang dinilai sesuai untuk gambarnya pun sempat merasa kebingungan ketika awal menggoreskan kuas pada kanvas yang dia pegang untuk mencurahkan apa yang sedang dia rasakan.

”Awalnya saya bingung tapi penasaran, setelah mencoba menggoreskan kuas saya semakin penasaran. Lama-lama jadi asik, apalagi kita bisa mencurahkan isi hati melalui gambar,” ujarnya.

Meski entah apa dan bagaimana orang normal lain mengartikan gambar yang dibuatnya. Namun Elda tetap mengaku senang lantaran dia mampu berkreativitas. Baginya, keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk tetap bisa menumpahkan sebuah perasaan.

”Senang sekali bisa menggambar, meskipun hasilnya gak jelas. Harapan saya orang lain bisa senang dengan gambar saya,” harapnya.

Kesempatan menggambar tersebut tak serta merta Elda lakukan sendiri. Adalah seorang alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga penggagas komunitas Teman Tanpabatas, Gerry Bagus Karang menilai dan percaya setiap kekurangan pasti di dalamnya terkandung kelebihan.

Dengan menggagas acara Aktualisasi bersama Kawan Difabel dengan berkarya melalui “Lukisan Tanpa Batas”, Gerry ingin belajar dan menggali potensi kaum disabilitas khususnya netra melalui sebuah karya lukisan. Dirinya percaya kaum difabel netra mampu menuangkan apa yang dirasakan pada sebuah lukisan. “Kita juga ingin mengedukasi masyarakat kalau lukisan itu bukan hanya bicara soal visual tapi ada elemen yang jauh lebih penting yaitu soal rasa,” tutur Gerry.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan