Muhadjir pun mengaku telah melaporkan masalah ini kepada Presiden Joko Widodo. ”Kita akan selesaikan secara bertahap,” katanya. Dia berjanji akan membenahi guru dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dari hasil Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan ada beberapa rekomendasi. Terkait ketersediaan dan peningkatan profesionalisme guru, pemerintah pusat dan daerah perlu kerja sama mempercerpat regulasi teknis aparatur negeri sipil untuk memenuhi kekurangan guru. Caranya dengan pengangkatan atau redistribusi guru. ”Moratorium yang dilakukan pada 2005 lalu membuat kita semakin kekurangan guru. Apalagi adsnya guru pensiun yang tidak diimbangi dengan pengangkatan guru baru,” kata Muhadjir.
Selain itu juga dalam agenda yang diselenggarakan selama 5 hingga 7 Februari itu juga mendorong pemda untuk melakukan pemetaan dunia usaha dunia industri (DUDI), potensi wilayah, analisis kompetensi guru, dan kebutuhan guru. Dengan demikian diharapkan permasalahan revitalisasi pendidikan vokasi seperti SMK akan bisa cepat dilakukan. Dalam hal ini BUMN dan BUMD juga juga sebisa mungkin bekerjasama dengan SMK.
Kemenristekdikti pun didorong untuk memperluas Politeknik untuk menghasilkan guru SMK. Hal itu diwujudkan juga dengan kerjasama LPTK dan P4TK. Training dari industri atau lembaga nasional dan internasional untuk meningkatkan kompetensi guru dan lulusan SMK bisa dipekerjakan.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengomentari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Indra persoalan mendasarnya adalah tidak adanya cetak biru (blue print) di dunia pendidikan.
Menurut Indra dengan tidak adanya cetak biru arah pembangunan pendidikan nasional itu, maka arah pembangunan pendidikan nasional tidak jelas. Ujungnya anggaran dana pendidikan Rp 400 triliun pun tidak terlihat signifikan hasilnya.
Dia mencontohkan masih tingginya kasus putus sekolah, padahal pemerintah memiliki program kartu Indonesia pintar (KIP). Menurutnya besarnya angka putus sekolah menunjukkan biaya sekolah masih mahal. ’’Yang putus sekolah kebanyakan orang miskin,’’ tuturnya.
Persoalan putus sekolah itu dipicu karena sekolah negeri justru dipenuhi siswa-siswa dari keluarga mampu dan kaya. Sementara siswa-siswa dari keluarga miskin tidak bisa masuk sekolah negeri karena tidak bisa menembus seleksi penerimaan siswa baru. Akibatnya anak-anak keluarga miskin sekolah di sekolah swasta dan berbayar.