Bandung – Kelompok masyarakat yang menamakan diri Forum Tuna Netra Menggugat menyatakan sikap tidak akan memberikan hak pilihnya dalam pesta demokrasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018.
Hal tersebut dipicu lantaran surat yang dikeluarkan KPU Republik Indonesia nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/ XII/2017 tentang petunjuk teknis standar kemampuan jasmani dan rohani serta standar pemeriksaan kesehatan jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali Kota dan wakil wali kota.
Koordinator Forum Tuna Netra Menggugat sekaligus Ketua Ikatan Alumni Wyata Guna Suhendar menilai, dengan munculnya Surat Keputusan (SK) dari KPU tentang syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi calon kepala daerah adalah hal yang terbilang diskriminatif.
Menurutnya, SK tersebut menganggap kaum disabilitas khususnya tuna netra tidak mampu menjadi kepala daerah. Sehingga tidak mempunyai hak untuk dipilih dalam konteks Pilkada 2018.
”SK tersebut jelas-jelas menghilangkan hak teman-teman disabilitas khususnya disabilitas netra, disabilitas rungu dan disabilitas daksa,” kata Suhendar, di Jalan Pajajaran, kemarin (26/1).
Suhendar menilai, dengan adanya SK yang menghilangkan hak politik kaum disabilitas. Dia juga memandang, KPU telah mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Sebab, pada tahun 2014 juga KPU juga pernah menghilangkan alat bantu bagi kaum tuna netra yaitu template braille.
Menurutnya, adanya SK tersebut juga merupakan satu upaya penghilangan hak secara sistematis. Sebab, hal tersebut berlaku dari pusat ke daerah yang akan menjadi stigma bagi masyarakat luas terhadap kaum disabilitas. Termasuk menganggap tuna netra tidak mampu menjadi pemimpin.
”Saya pikir SK ini adalah proses pembelajaran bagi temen-temen KPU dan masyarakat bahwa SK ini diskriminatif bagi kita,” ujarnya.
Dituturkan Suhendar, KPU juga telah melanggar undang-undang nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan kedudukan penyandang disabilitas sebagai subjek diakui keberadaannya yaitu manusia yang bermartabat dan memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Disinggung mengenai pertemuan KPU pusat bersama kaum disabilitas yang meminta revisi dengan pemberian batas waktu pencabutan SK, Suhendar mengatakan tidak cukup hanya minta maaf secara tertulis ataupun menganulir SK. Sebab, KPU dinilai telah membuat keputusan yang asal dan tidak membandingkan sebuah undang-undang dengan undang-undang lainnya.