Berawal dari koin benggol milik almarhum kakek, Muhammad Ikhsan Khoirudin menjelma menjadi kolektor uang kuno. Mulai duit masa penjajahan sampai rupiah keluaran terbaru, disimpannya rapi dalam sebuah album. Selain sebagai penyalur hobi, juga bisa untuk investasi.
DENI KURNIAWAN, Ponorogo.
PERPADUAN udara nan sejuk dengan jalan berlubang menyambut tatakala masuk Dusun Pakem, Desa Tanjung Sari, Kecamatan Jenangan. Sesaat setelah melintasi jembatan sarat genangan air berlumpur, sampailah di kediaman Muhammad Ikhsan Khoirudin. Mendengar suara kedatangan sepeda motor, seorang pria bercelana santai keluar lantas menyapa. ”Setiap hari ya seperti itu motor saya, penuh lumpur,” sambut Ikhsan.
Pria dengan rambut yang masih basah itu menyilakan masuk. Tiga pedang kuno berbelongsong dipajang di sisi tembok menghadap pintu utama. Sementara di meja tamu, dua album beda ukuran tergeletak. Ikhsan yang tadi menuju ke arah belakang lantas keluar dengan membawa segelas teh. ”Pedang-pedang itu hobi tambahan, yang utama ya ini,” ungkapnya sembari membuka dua album di atas meja tadi.
Bukan jepretan sebagai untuk mengabadikan momen isinya, melainkan beberapa lembar uang kertas yang sudah tidak bisa untuk belanja. Beberapa edisi uang kertas pecahan Rp 100 yang identik dengan kelir merah ada di dalam salah satu album itu. Mulai dari yang bergambar tupai keluaran 1957, pekerja (1958), Soekarno (1960), Soedirman (1968), badak, (1977), Goura Victoria (1984), hingga yang bergambar kapal pinisi (1992). ”Yang belum ada seri budaya, keluaran 1952,” ungkap Ikhsan.
Pria 24 tahun itu adalah salah seorang yang telaten mengoleksi uang kuno di bumi reyog. Selain uang kertas pecahan Rp 100 tadi, Ikhsan mengaku paling sayang dengan koleksi uang kuno bergambar presiden pertama Indonesia. Tidak sedikit lembaran rupiah seri Soekarno yang disimpannya. Antara lain pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp, 500, dan Rp 1.000. “Ada juga pecahan RIS (Rupiah Indonesia Serikat), nominal RIS 2,5, RIS 5, dan RIS 10,” imbuhnya.
Jenis uang kuno koleksi Ikhsan termasuk alat tukar sah yang digunakan pada masa penjajahan dulu. Baik buatan Belanda maupun Jepang. Uang-uang kuno itu sengaja dikumpulkannya sebagai koleksi pribadi sejak lima tahun silam. Meski begitu, dia tidak menggeleng ketika ada kolektor lain yang hendak menebus dengan harga yang pas. “Kemarin seri Soekarno Rp 1.000 keluaran 1960, diambil kolektor dari Grobogan, Jawa Tengah. Dihargai Rp 2 juta, lumayan untuk investasi,” ujarnya.