”Bisa dua hari hingga empat minggu tanpa bangun sama sekali. Tiap-tiap orang berbeda,” ujarnya.
Jika dipaksa dibangunkan, pasien justru akan mengalami kebingungan dan linglung. Sebab, matanya memang terbuka, tapi otaknya masih dalam keadaan tidur fase satu. Atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai tidur ayam. Ketika diajak komunikasi, pasien terkesan tidak nyambung. Namun, jika periode sudah selesai, mereka akan kembali normal.
Para pengidap sindrom yang langka itu biasanya juga mengalami gangguan kognisi, nafsu makan berlebih, serta keresahan. Selain itu, orang dengan sindrom putri tidur memiliki banyak risiko kesehatan jika tidak dirawat di rumah sakit. Sebab, tidur yang lama tentu membuat asupan makanan dan cairan berkurang. Akibatnya, bisa muncul dehidrasi maupun kekurangan zat gizi.
Saat di rumah sakit, kondisi tersebut bisa disiasati dengan memberikan cairan infus. ”Tapi, untuk kasus Echa ini, saya belum bisa memastikan. Diperlukan pemeriksaan yang lebih canggih untuk memastikan,” imbuhnya.
Echa sudah menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) di kepala. Juga elektroensefalografi (EEG) untuk memeriksa glukola gelombang tidur. Serta pemeriksaan fungsi batang otak. Hasilnya masih dalam batas normal. ”Hasil ini yang kami tunggu-tunggu. Tak enak juga berlama-lama di rumah sakit. Apalagi, ada pekerjaan juga di rumah,” ujar sang ibu.
Untuk diketahui, pengobatan Echa sudah dilakukan pihak keluarga dengan berbagai macam cara. Tak hanya melalui pengobatan medis, tapi juga nonmedis. ”Melihat kondisinya sudah mulai membaik seperti ini, tak ada rencana untuk mengobati hingga ke Pulau Jawa. Lagi pula, ongkosnya pasti mahal,” ucap Lili.
Echa masih asyik dengan ponselnya. Mungkin berselancar di dunia maya, bermain media sosial, adalah caranya mengobati kerinduan pada waktu-waktu yang hilang karena tertidur sangat panjang. Kini harapan dia tentu bisa segera sepenuhnya pulih. Pulang ke rumah, pergi ke sekolah. Menemui teman-teman yang sudah sangat dia kangeni. (*/JPG/c9/ttg)