Sppir angkutan umum trayek Ciumbuleuit – Stasiun Bandung, Dede, 27, berharap, adanya aturan bagi angkutan daring yang disetarakan seperti angkutan konvensional pada umumnya.
”Ya kalau bisa, dicabut izin trayeknya tapi kita sadar ini sulit, minimal disetarakan lah seperti kami berplat kuning,” kata Dede ditemui di Terminal Stasiun Bandung, kemarin (12/10).
Dirinya mengeluhkan. Sejak kemunculan Transportasi online pendapatannya berkurang. Selain itu menurutnya, angkutan konvensional juga harus memenuhi berbagai macam persyaratan contohnya, uji KIR.
”Jujur saja, semakin berkurang bahkan setoran aja nombok. Mereka (transportasi online, Red) kan tidak ada batas minimal setoran per hari dan bergerak bebas,” urainya.
Hal senada diungkapkan Saepul, 43, sopir angkot trayek Gunung Batu-Stasiun Bandung. Dia mengakui, ongkos angkutan dari terbilang murah. Sehingga cukup menarik perhatian masyarakat.
”Mereka kan gak setoran, sedangkan kita (angkot) setoran. Setoran saya per hari Rp 130 ribu, kadang-kadang saya dapat Rp 80 ribu, jelas saya nombok. Kita masih menunggu, hingga peraturan itu (soal transportasi online) terbit,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SPTI) Bandung, Ana Sumarna mengatakan, tetap memberikan pembelaan terhadap para pengendara transportasi konvensional.
Menurutnya, saat ini ada sekitar 38 trayek angkutan umum yang beroperasi di Kota Bandung. Bila digabung dengan transportasi konvensional lainnya seperti taksi dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP), ada sekitar 56 trayek yang beroperasi.
”Jumlah driver angkutan umum kurang lebih 12.000 orang di Kota Bandung, kita tetap mengimbau rekan-rekan agar tetap kondusif,” tegasnya. (pan/mg1/yan/rie)