Jawa Pos menunggu sekitar satu jam saat proses belajar-mengajar di sekolah perkampungan Rohingya tersebut berlangsung. Satu waktu, ketiga kelas ramai karena harus mengulang apa yang diucapkan guru. Sesekali satu kelompok murid saja yang ramai karena berebut memberikan jawaban.
Ketika itu terjadi, para murid yang sebagian datang ke sekolah tanpa sepatu tersebut biasanya menoleh ke sumber suara. ”Itu membuat konsentrasi mereka kerap terganggu,” kata Kyaw Min Tun.
Seluruh murid di SD desa yang jalanannya berlumpur itu mencapai 250 orang. Ketika semua masuk, mau tak mau harus berbagi kelas. Jendela di keempat kelas berukuran besar dan dibiarkan terbuka lebar karena di dalam tak ada kipas angin. Apalagi AC.
Di sekolah tersebut, para murid umumnya malu-malu ketika ada orang asing yang datang. Ketika kamera diarahkan kepada mereka, biasanya mereka langsung melihat papan tulis atau buku. Sebisa-bisanya tidak menoleh ke kamera.
Tapi, beberapa kali mereka mengintip. Mungkin penasaran. Jika sudah demikian, mereka akan tersenyum dan membiarkan dipotret.
Tipikal lainnya, mereka biasanya diam ketika diajak berbicara. Bahkan ketika ditanya soal nama.
Ketika Jawa Pos dan guru Kyaw meminta seorang siswi untuk membacakan naskah bahasa Inggris yang disalinnya ke buku, dia diam saja. Bahkan, ketika sudah dibujuk gurunya, dia bergeming. ”Mungkin dia malu karena tidak banyak orang asing yang ke sini,” timpal Kyaw, lantas tersenyum.
Di Myanmar, sebenarnya ada aturan soal seragam sekolah bagi sekolah dasar. Atasan seragam berwarna putih dengan celana atau rok hijau.
Tapi, di Desa Thet Kay Pyia Ywar Ma, beberapa murid tidak memiliki pasangan seragam itu. Sebab, umumnya mereka berasal dari keluarga miskin.(*/c5/ttg/rie)