Jadilah Rizal yang ketika itu masih berusia 19 tahun membuka konser kecil dari rumah ke rumah. Dari komunitas ke komunitas. Itu dilakukan Rizal tidak sebatas demi menuntaskan asa bertemu sang idola. Tapi juga membantu sesama. Semampu yang dia bisa.
”Dapat uang, dikasih ke anak-anak kecil. Buat kaus untuk panti asuhan,” ungkapnya.
Sampai menginjakkan kaki di tanah Lombok dan bertemu Ari Julian, dia konsisten melakoni aksi sosial tersebut. Sebab, bagi Rizal, tujuan bermusik bukan untuk punya nama.
Pria yang berulang tahun setiap 30 Agustus itu punya pendirian teguh. ”Bermusik untuk menyampaikan pesan,” ucap Rizal.
Keteguhan tersebut dia pertahankan sampai sekarang. Itu, misalnya, bisa dilihat di album bertajuk Hope yang dia buat dengan memanfaatkan rasendriya.
Dalam album berisi 15 lagu yang dirilis tahun lalu tersebut, dia mengisahkan harapan. Tentang orang-orang yang tidak pernah berhenti berharap.
”Orang-orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk perubahan,” ujarnya.
Orang-orang yang dia maksud, antara lain, Ir Soekarno, RA Kartini, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Bob Marley, dan Nelson Mandela. Semuanya tokoh besar yang juga punya pengaruh besar.
Bukan cuma di album. Misi musik rakyat sebagai musik perjuangan itu juga direalisasikan di keseharian. Rizal pernah berdiri tegak ketika sebuah sekolah di Sumatera hendak dirobohkan demi kepentingan satu–dua pihak.
Dia juga sudah mengalami jadi sasaran teror orang-orang tidak dikenal karena berada di barisan paling depan untuk membela penduduk salah satu desa di Majalengka. Tepatnya ketika rumah mereka tidak kunjung diperbaiki pemerintah setelah diterjang bencana. (*/c11/ttg)