Agustus Suhu Bisa Minus 7 Derajat Celsius

Warga desa, menurut Sudiono, sudah terbiasa menghadapi udara dingin. Warga memiliki trik masing-masing agar tidak kedinginan. Salah satunya dengan aktif beraktivitas. ”Warga sini sangat guyub,” ujarnya. Terutama dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Antara lain mengadakan kumpul rutin, menggelar pengajian, dan membentuk kelompok sadar wisata.

Pria 52 tahun itu menjelaskan, suhu 12 derajat Celsius itu masih terbilang normal. Bila malam hari, suhu kian dingin. ”Kalau malam rata-rata 5 sampai 9 derajat,” ungkap Sudiono. Suhu ekstrem terjadi pada Juli hingga Agustus seperti saat ini. ”Paling nanti sampai 0 derajat,” katanya.

Bahkan, lanjut Sudiono, saat turun embun es, suhu bisa minus 7 derajat Celsius. Embun es menutupi tanaman dan jalan desa seperti salju. ”Untung belum pernah sampai merusak tanaman,” ujarnya.

Bila menghadapi suhu seperti itu, warga biasanya menghabiskan waktu di rumah. Ada penghangat ruangan di tiap-tiap rumah warga. Cuaca dingin tersebut cocok untuk aktivitas pertanian. Karena itulah, banyak warga Desa Sembungan yang menjadi petani. Warga berbondong-bondong pergi ke sawah sekitar pukul 05.00 hingga 09.00.

Hasil pertaniannya antara lain kentang, terong, cabai, bawang putih, dan kol. Satu lagi tumbuhan yang menjadi ciri khas adalah carica atau dikenal dengan pepaya Dieng. Tumbuhan itu hanya dapat hidup di dataran tinggi basah, yaitu 1.500-3.000 mdpl. Di Jawa ya hanya ada di daerah Wonosobo.

Carica diolah menjadi beberapa jenis produk. Yang paling dikenal adalah manisan carica. Selain itu, ada carica dalam bentuk selai dan keripik.

Nama Sembungan sendiri berasal dari pohon sembung, jenis tanaman obat yang banyak ditemukan di daerah sana. Kekayaan alam yang dimiliki desa yang dihuni 400 kepala keluarga itu membuat penduduknya betah. Apalagi, fasilitas desa semakin berkembang.

Di sana terdapat madrasah ibtidaiyah (MI) dan madrasah tsanawiyah (MTs). Dengan pembangunan madrasah tersebut, Sudiono berharap penduduk tidak mengalami kesulitan lagi untuk mengenyam pendidikan tingkat SD dan SMP. Tidak perlu lagi jauh-jauh turun ke kota untuk bersekolah. Dia berharap pembangunan sekolah itu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Selain pertanian, desa yang dihuni 1.250 penduduk tersebut hidup dari hasil pariwisata. Banyak wisawatan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke sana. Jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 3 ribu orang setiap minggu. Karena itulah, Sudiono membentuk kelompok masyarakat sadar wisata. (*/c9/oki/rie)

Tinggalkan Balasan