jabarekspres.com, PURWAKARTA – Belasan pelajar di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, diduga mengalami stres dan sakit-sakitan usai gagal diterima di SMAN 1 Jatiluhur (SMANJA). Sementara itu aparat desa dan sejumlah warga kembali mendatangi sekolah tersebut, Rabu (19/7). Mereka tidak terima atas dampak psikologis yang terjadi pada anak-anak mereka.
Pantauan di lokasi, warga datang ke SMAN 1 Jatiluhur sekitar pukul 10.00 WIB dengan membawa serta siswa yang gagal diterima di sekolah itu. Mereka memajang poster berisi protes terhadap kebijakan sekolah atas penerapan zonasi. Awalnya mereka hanya berkumpul di luar areal sekolah sebelum akhirnya dipersilakan masuk ke salah satu ruangan untuk berdialog dengan pihak sekolah dengan kawalan aparat kepolisian.
Warga meminta agar sekolah bertanggungjawab atas dampak psikologis yang terjadi pada anak-anaknya. Tidak ada solusi lain untuk mengobati anak-anaknya kecuali sekolah tersebut menambah kuota pada setiap kelas sebanyak dua orang atau membuat rombongan belajar baru.
“Jumlah ruangan untuk siswa baru di SMAN 1 Jatiluhur sebanyak delapan kelas. Berarti cukup ditambah dua orang pada setiap kelas. Itu obat yang kami perlukan,” ungkap Ketua RT14 RW03 Desa Bunder, Muhammad Juhanda seraya menyebutkan anaknya pun termasuk yang tidak diterima di sekolah tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang ada tentang penerapan zonasi, kata Juhanda, seharusnya pihak sekolah memprioritas warga sekitar. Apalagi NEM anak-anak mereka cukup baik sehingga saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) beberapa waktu lalu optimistis diterima di SMAN 1 Jatiluhur. Namun kenyataannya anak-anaknya gagal masuk di sekolah tersebut.
“Ditenggarai banyaknya pelajar dari luar Desa Bunder yang diterima di sekolah itu. Bahkan, ada siswa yang berasal dari Cikarang, Bekasi,” bebernya.
Warga lainnya, Dadang Supriadi menyatakan, persoalan yang terjadi di SMAN 1 Jatiluhur merupakan potret nasib anak bangsa. Masa depan siswa yang tidak diterima di SMAN 1 Jatiluhur dipertaruhkan.
“Sebenarnya orang tua siswa siap kalau pun harus membangun ruang kelas baru secara swadaya. Kalau memang persoalannya seperti itu. Permasalahan ini sudah dikomunikasikan ke Dinas Pendidikan Jawa Barat. Namun sampai hari ini belum ada respons. Sementara anak-anak kami hingga sekarang belum bisa bersekolah,” kata Dadang.