Mantan Penasihat KPK Buka Perpustakaan Pribadi untuk Umum

Dilengkapi ribuan buku, Suwarsono Muhammad berharap perpustakaannya jadi tempat nongkrong, diskusi, dan basis penerbitan jurnal secara berkala. Belum ada pegawai, dia bersih-bersih dan memasang kamper sendiri.

TOMY C. GUTOMO, Jogjakarta

RIBUAN buku itu tertata rapi di rak kayu jati yang diberi pintu kaca. Tiap kali terlihat berdebu, dengan segera Suwarsono Muhammad akan membersihkannya. ”Setiap hari kerja saya buka pukul 13.00 sampai 18.00. Sementara belum ada pegawai, jadi saya sendiri yang menunggui,” katanya.

Sejak 27 Mei 2017 atau tepat 1 Ramadan lalu, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut memang membuka perpustakaan pribadinya itu untuk umum. Berlokasi di bangunan yang terletak di atas tanah seluas 300 meter persegi di Jogjakarta, sekitar 3.500 buku di dalamnya –seluruhnya– juga koleksi pribadi mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) tersebut.

Suwarsono seharusnya masih menjabat penasihat KPK hingga Mei 2017. Namun, dia mundur pada 2015 setelah kejadian kriminalisasi terhadap pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Kini dia masih bekerja part time di KPK sebagai redaktur majalah Integrito.

Sebelumnya rumah itu merupakan kantor Dworowati, Civilization & Strategy (DCS). Sebuah lembaga kajian yang sudah lama dia dirikan. Perpustakaan tersebut kini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari DCS.

Suwarsono dan keluarga tinggal di rumah lain. Tepat di belakang perpustakaan itu. Ada jalan tembus dari rumah Suwarsono ke perpustakaan tersebut. Dia juga meminta mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Ma’arif, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas’oed, dan pengusaha Sunardi Syahuri menjadi penasihat di perpustakaan itu. Kebetulan Syafii dan Mochtar adalah tetangganya.

Dua pekan pertama ini memang belum banyak mahasiswa atau masyarakat umum yang datang ke perpustakaannya. ”Anda orang kedua yang ke sini,” kata Suwarsono kepada Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) Selasa (6/6) lalu.

Suwarsono berharap perpustakaannya menjadi tempat nongkrongnya mahasiswa. Terutama aktivis yang ingin mendalami peradaban dan strategi. Mereka boleh membaca di sana sepuasnya. ”Tapi tidak boleh dibawa pulang,” katanya. ”Kalau fotokopi boleh. Nanti saya yang memfotokopikan,” sambung pria yang mendapatkan gelar master of arts dari University of Hawaii, Amerika Serikat, pada 1987 itu.

Tinggalkan Balasan