jabarekspres, JAKARTA – Rangkaian pergelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) tahap ketiga 2018 akan dimulai pekan ini. Rencananya, kontestasi yang melibatkan 171 daerah itu di-launching pada Jumat (16/6).
Hingga akhir pekan ini sudah ada lima peraturan KPU (PKPU) yang disepakati untuk disahkan. Yakni, PKPU Tahapan dan Jadwal, PKPU Pencalonan, PKPU Pemutakhiran Data Pemilih (Mutarlih), PKPU Dana Kampanye, dan PKPU Kampanye.
Dari lima PKPU yang disahkan tersebut, ada sejumlah perubahan yang terjadi. Dalam PKPU Mutarlih, misalnya, Bawaslu diberi kewenangan untuk mengakses daftar penduduk potensial pemilih pemilihan (DP4) dan sinkronisasinya.
Perubahan juga terjadi di PKPU tentang Pencalonan. DPR, pemerintah, dan penyelenggara menyepakati perubahan waktu penetapan syarat umur minimum. Sebelumnya, umur 30 tahun bagi kepala daerah dan 25 tahun bagi wakilnya diketahui per mendaftarkan diri. Pada pilkada 2018, umur minimum tersebut dihitung per ditetapkan sebagaimana pasangan calon.
Sementara itu, PKPU tentang Kampanye dan Dana Kampanye nyaris tidak ada perubahan. Semua ketentuan di 2017 diadopsi dalam pelaksanaan pada 2018. Perubahan cukup signifikan justru terjadi di PKPU Tahapan dan Jadwal. Sebab, penyelenggara memutuskan untuk memperpanjang masa kampanye sebulan dari 102 hari menjadi 135 hari.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tantowi mengatakan, penambahan masa kampanye tersebut dilakukan untuk menambah ketersediaan waktu tahapan. Pasalnya, pelaksanaan pilkada 2018 akan berlangsung di 171 daerah dengan jumlah pemilih yang besar. ”Waktu penyediaan logistik harus lebih luas, antisipasi pemilihnya banyak,” ujarnya kemarin.
Selain itu, waktu kampanye ditambah untuk memberikan space tambahan pada sengketa pencalonan. Baik itu di Bawaslu maupun Mahkamah Agung. Apakah akan berdampak pada penambahan anggaran? Pramono membantahnya. Sebab, penyelenggara hanya memperpanjang masa penggunaan alat peraga. Sedangkan rentang waktu iklan media massa hanya diatur ulang.
Pram pun optimistis hal tersebut tidak berdampak pada antusiasme penyelenggaraan. Sebab, berdasar evaluasi, sepinya pelaksanaan pilkada lebih disebabkan kewenangan paslon dalam memproduksi alat kampanye.
”Pada 2017 lalu tidak ada lagi kesan sepi karena paslon sudah diberi kesempatan itu,” ujarnya. Kalaupun ada kenaikan dana kampanye, itu terjadi di pasangan calon. ”Karena waktu untuk melakukan kampanye tatap muka semakin panjang,” imbuhnya.