Tiga Mahasiswa ITB Ciptakan Mesin Pendeteksi Hoax

Konsep yang tercantum dalam video berubah drastis setelah berbagai penyesuaian. Mereka memanfaatkan teknologi natural language processing (NLP) yang merupakan pengolahan bahasa manusia sehari-hari agar dapat dimengerti komputer. Selain itu, mereka memanfaatkan machine learning, yaitu proses pembelajaran komputer dari data.

Prinsipnya, mesin itu dipakai untuk menemukan kata-kata kunci dari sebuah berita atau artikel dari situs tepercaya. Kata kunci tersebut, dengan formulasi khusus, dicocokkan dengan kata atau kalimat yang dimasukkan ke kotak pencarian. Bedanya dengan mesin pencarian pada umumnya, Hoax Analyzer menghasilkan pertimbangan informasi yang dicari itu hoax atau fakta.

Hasil lembur mereka selama sepekan dibawa ke kantor Microsoft di Jakarta. Mereka mempresentasikannya dalam 20 menit. Hasilnya tidak sia-sia. ”Sorenya kami dinyatakan masuk lima besar. Kami diberi waktu dua pekan untuk menyempurnakan,” terang Adi.

Tentu saja mereka senang bisa unggul atas tim-tim lain. Namun, itu berarti mereka harus melembur lagi. Masukan dari dewan juri menjadi pertimbangan utama untuk perbaikan situs. Informasi yang dicek yang sebelumnya berbahasa Inggris harus diubah menjadi bahasa Indonesia sesuai target pasar yang dituju.

”Kami memanfaatkan NLP versi Indonesia yang dikembangkan dosen ITB Bu Ayu Purwarianti. Bu Ayu memang menjadi pembimbing kami,” jelas Tifani.

Mereka juga memperbaiki sumber atau situs referensi yang dipilih. Sebelumnya mereka memasukkan media sosial sebagai sumber. Selain itu, juri meminta agar dikembangkan pula program pengecekan gambar: hoax atau tidak. ”Sejauh ini gambar yang ada teksnya atau screenshot bisa dikroscek,” imbuh dia.

Babak final yang menentukan pada 6 April akhirnya tiba. Adi, Tifani, dan Fery mesti mempresentasikan karyanya dengan bahasa Inggris di hadapan lima juri dari Microsoft, Badan Ekonomi Kreatif, Bukalapak.com, dan praktisi teknologi lain. Hasilnya, mereka dinyatakan sebagai juara. Mereka berhak mewakili Indonesia dalam kontes inovasi teknologi informasi tingkat ASEAN di Manila pada 22–27 Juli.

Tifani tidak menyangka timnya bisa sejauh ini. Sebab, secara pribadi dia mesti mengejar wisuda. Artinya, dia harus menyelesaikan tugas akhir secepatnya. ”Apalagi, saya mendapat beasiswa (kuliah lagi, Red) di Jepang. Jadi, saya harus benar-benar bisa membagi waktu kalau tidak ingin semua berantakan,” ujar Tifani.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan