jabarekspres.com, KUALA LUMPUR – Marak (serta larisnya) berita palsu harus menjadi keresahan bersama. Bukan hanya di kalangan industri media, melainkan juga pada konsumen media.
Pembaca media harus menjadi cerdas dan rajin menguji segala informasi yang mereka terima melalui –terutama– media sosial dan internet. Pesan itu disampaikan pada hari terakhir perhelatan WAN-IFRA Asia Publish 2017 di Kuala Lumpur, baru-baru ini.
Sesi diskusi bertema Fake News: Threat and Opportunities for the Asian Press (Berita Palsu: Ancaman dan Peluang bagi Pers Asia)? dihelat tengah hari di Hotel Le Meridien Kuala Lumpur.
Tiga pembicara dihadirkan. Yakni, Iain Martin (Asia editor Storyful, Hongkong), Steven Gan (Pemred portal berita Malaysiakini), dan Ng Hiu-tung (pendiri kantor berita FactWire, Hongkong). Sesi itu dimoderatori Joon-Nie Lau (media trainer dan vice president Singapore Press Club).
Steven Gan memaparkan, berita palsu membidik isu-isu yang terkait dengan perasaan, harapan, rasa hormat, hingga keputusasaan pembaca media. Berita palsu itu dengan mudah membesar dengan ’’menunggangi’’ kemalasan pembaca untuk melakukan double check (uji ulang). ’’Kita jangan lagi malas. Bukan hanya di kalangan jurnalis, tapi juga konsumen,’’ katanya.
Wabah hoax itu juga makin masif dengan munculnya hyper-personalized news. ’’Artinya, pembaca sudah punya kepercayaan sendiri. Lalu, mereka mencari berita yang sesuai dengan kepercayaan mereka dan tidak peduli pada berita lain. Ini bahaya,’’ ujar Gan.
Dia memberikan saran kepada sekolah-sekolah di Asia agar mulai memasukkan pendidikan tentang media (media studies). ”Harus masuk kurikulum,” katanya. Gan juga mengajak pelaku media untuk tidak menjadi kendaraan penyebaran berita palsu itu.
Ng Hin-tung mengatakan, yang berbahaya bukan hanya kehadiran berita palsu itu sendiri. Tetapi, juga pelabelan secara serampangan pada produk jurnalistik sebagai berita palsu. Hal tersebut terjadi karena konsumen sudah punya pola pikir sendiri. Dengan demikian, mereka cenderung tidak meyakini berita-berita yang tidak selaras dengan kerangka pikir mereka. ’’Kalau jurnalis bisa menunjukkan fakta, mereka justru tidak yakin. Kok bisa?’’ katanya.