”Nggak papa. Ya sudah lah, sudah ikhlas,” kata SA, pasrah, ketika harus
melahirkan di usia 13 tahun.
Namun, SA bukan sedang dirawat karena sakit. Perempuan 13 tahun itu baru saja melahirkan dua hari sebelumnya. Melahirkan di usia 13 tahun? Ya…!
SA adalah potret buram anak Indonesia yang terpaksa menjalani pernikahan di usia anak. Suaminya, SP juga masih sangat muda, 20 tahun. Bisa dibayangkan, betapa mereka sangat belum siap menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu. Secara fisik maupun mental.
Jumat (31/3), nyawanya dalam bahaya. Karena tulang panggulnya kelewat kecil, dia tidak bisa melahirkan normal. Dia tidak bisa melewati pembukaan 6. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bayi dan ibu adalah operasi Caesar. Siang itu SA ditemani suaminya. Juga beberapa kerabatnya. Setelah dua hari dirawat, dia akhirnya diizinkan untuk pulang. Dia hanya tinggal menunggu persetujuan dokter.
Dengan kemeja merah motif kotak dan bawahan sarung, SA berkali-kali tidur lalu bangun menunggu tandatangan dokter yang tak kunjung tiba. Ketika ditanya keadaan, dia berulang-ulang mengatakan bahwa dia baik-baik saja. ’’Sekarang cuma sedikit sakit. Tapi, sudah nggak apa-apa,’’ ujarnya.
Soal perasaan, gadis pemalu itu tetap saja berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya baik-baik. Namun, kisah dibalik perempuan yang sering senyum malu-malu itu tak seenteng yang terlihat.
Nasib SA bisa saja berbeda. Jika tidak ada kader desa sekaligus pendamping SAPA Institut, LSM yang memperhatikan masalah perempuan, membantu dia. Perempuan tersebut baru diketahui hamil saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan. Orang tua yang mengetahui itu pun tanpa pikir panjang langsung menikahkan SA dengan SP melalui lebe, penghulu yang menikahkan secara agama.
Praktis, pernikahan itu membuat mereka berhenti sekolah. Masing-masing hanya mengantongi ijazah SMP.