bandungekspres.co.id, CIMAHI – PDI Perjuangan Jawa Barat mengaku tidak khawatir dengan rencana pasangan calon nomor 2 wali kota dan wakil wali kota Cimahi Asep Hadad Didjaya – Irma Indriyani yang akan melapor ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan Asep-Irma menilai banyak pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada Kota Cimahi.
“Kita tidak khawatir, karena yang dipersoalkan paslon 2 adalah pihak Panwas dan penyelenggara Pilkada. Lagi pula kita juga bukan incumben dan tidak melakukan politik uang. Jadi mengapa harus khawatir,” kata Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, Abdy Yuhana di kantornya Jalan Pelajar Pejuang 45 Bandung, Senin(20/2).
Dikatakan Abdy, di Pilkada Cimahi ini calon yang diusung PDI Perjuangan yakni Ajay Muhammad Priatna-Ngatiyana unggul dengan selisih yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan, pihaknya tepat mengusung paslon. Apalagi latar belakang Ngatiyana adalah militer, dimana mayoritas penduduk Cimahi adalah keluarga besar militer sehingga tersalurkan aspirasinya.
“Mesin partai koalisi yakni PDI Perjuangan, PKB, PAN dan Hanura juga berjalan baik, saling mengisi dan memperkuat,” tandasnya.
Selain itu, DPD PDI Perjuangan Jawa Barat akan melakukan evaluasi terkait kekalahan di Kabupaten Bekasi dan Kota Tasikmalaya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017.
Evaluasi ini perlu dilakukan agar pada pilkada mendatang kesalahan yang dilakukan tak terulang.
“Untuk pilkada serentak, hasil sudah terlihat dari hitung cepat meski belum ada pengumuman resmi dari KPU, tapi sudah tergambar lah. Kita hanya menang di Kota Cimahi,” kata Abdy Yuhana.
Abdy mengatakan, di Kabupaten Bekasi dan Kota Tasikmalaya, paslon yang diusung PDI Perjuangan berhadapan dengan incumben. Incumben, kata Abdy, memiliki point kemenangan yakni 5 tahun sosialisasi, sementara paslon lain hanya sekitar 6 bulan.
“Kemudian ada aturan yang boleh memasang Alat Peraga Kampanye (APK) itu KPU. Persoalannya di satu sisi kita harus menaikkan popularitas seseorang, di sisi lain jangka watunya terbatas,” cetusnya.
Dikatakannya, tingkat partisipasi pilkada juga turun karena kurang sosialisasi dari penyelenggara serta masih terlihat secara faktual birokrasi atau ASN yang memihak incumben serta masifnya money politik.