Dirayu Pindah ke Belanda, Dwi Curhat ke Habibie

Habibie mewanti-wanti agar Dwi tetap keukeuh mempertahankan prinsip kewarganegaraannya. Jangan sampai mau pindah kewarganegaraan di Belanda. Perkara bekerja untuk perusahaan internasional atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja. ”Kamu jangan sampai mencabut jati diri dan kewarganegaraan Indonesia-mu,” pesan Habibie.

Wanti-wanti suami almarhumah Ainun Habibie itu menguatkan pesan yang disampaikan orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja, misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu berpesan supaya Dwi tidak lupa asal muasalnya.

”Memang, di Belanda hujan emas. Tetapi, siapa yang membantu negaramu?” kata Dwi menirukan wejangan orang tuanya.

Pria 28 tahun yang sebentar lagi bergelar profesor itu menyatakan, besarnya tawaran berpaspor Belanda itu muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi bersama para guru besar dari Technische Universiteit (TU) Delft selama ini menggarap bidang national security Kementerian Pertahanan Belanda, European Space Agency (ESA), NASA, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta Airbus Defence.

Salah satu riset sensitif yang dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar angkasa. Dwi juga menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan dan keamanan (hankam). Dia terlibat pula dalam penyempurnaan teknologi pesawat tempur Eurofighter Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.

”Riset bidang itu kan sensitif sekali jika digarap orang dari negara lain,” kata ilmuwan muda yang masih betah membujang tersebut.

Kasarannya, potensi untuk menjual hasil riset ke pesaing usaha atau membocorkan pertahanan Belanda ke negara lain sangat memungkinkan. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari untuk pindah kewarganegaraan Belanda.

Dari riset-riset yang dilakukan, Dwi telah mengantongi tiga paten di bidang spacecraft technology. Sayang, dia terikat kontrak untuk merahasiakan paten tersebut. Dia tidak bisa membeberkan tiga paten itu karena terkait dengan program strategis.

Dia mengaku cukup dilematis saat menolak tawaran pindah kewarganegaraan tersebut. Sebab, biaya kuliah S-2 dan S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin dicap sebagai ilmuan yang tidak bisa berterima kasih kepada pihak yang membiayai kuliahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan