Evaluasi peserta diik, satuan pendiikan, dan program pendiikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala. ’’Sejak ada unas, siapakah lembaga mandiri yang menyelenggarakannya. Apakah lembaga mandiri itu Kemendikbud,’’ tuturnya.
Pemerintah selama ini mengklaim bahwa penyelenggara unas adalah Badan Standar Nasional Pendiikan (BSNP). Namun menurut dia peran BSNP dalam unas sangat kecil dan lebih diominasi Kemendikbud.
Ferdiansyah menjelaskan polemik penyelenggaraan unas tidak bisa terus dilanjutkan. Jika unas dimoratorium, segera putuskan pengganti pengukurannya apa. Dia mengatakan penjelasan dari Kemendikbud soal moratorium belum tuntas. Rencananya akan digelar rapat lanjutan antara Mendikbud Muhadjir Effendy dengan Komisi X DPR.
Kepala Pusat Penilaian Pendiikan (Puspendik) Kemendikbud Nizam menjelaskan, selama ini pelaksanaan unas ditumpuki macam-macam. ’’Sampai penyet unasnya. Sehingga unas sering disalahkan,’’ kata dia. Banyaknya agenda di balik penyelenggaraan unas, membuat ujian tahunan ini menjadi momok bagi siswa maupun guru.
Nizam menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan unas selama ini, siswa kesulitan mengecar nilai standar kompetensi lulusan (SKL). Dalam unas 2016 nilai SKL ditetapkan sebesar 55 poin dari nilai maksimal 100 poin. Dia mengungkapkan di SMP ada sekitar 40 persen peserta unas tidak bisa mengejar SKL. Kemudian di SMA sebesar 50 persen peserta tidak mampu menggapai skor SKL 55 poin itu.
’’Melihat unas harus dari hulunya,’’ kata dia. Hulu unas adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Rata-rata guru hanya mengajar siswa pada kemampuan what (apa). Sementara untuk kemampuan how (bagaimana) dan why (kenapa) masih rendah. Dia mengamati kondisi ini dari soal-soal ujian yang dibuat oleh guru.
Dia mencontohkan pada mata pelajaran sejarah, guru lebih sering membuat soal kapan perang Diponegoro pecah dan tokoh-tokoh di dalamnya. Guru jarang membuat soal kenapa perang Diponegoro sampai pecah. ’’Padahal why itu aspek analisisnya lebih tinggi,’’ jelasnya. (byu/wan)