bandungekspres.co.id, BANDUNG – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Barat semakin tinggi. Tercatat hingga bulan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat mencatat, hingga Oktober 2016 tercatat 1.189 kasus. Dari angka tersebut, sebanyak 444 kasus terjadi pada anak, lalu 336 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 278 kasus perdagangan orang. Sisanya sebanyak 131 kasus kekerasan lainnya. Sedangkan data dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) mencatat, dalam rentan waktu 2013-2014 mencapai 72 korban pada anak dan perempuan difabel.
Menurut Ketua P2TP2A Jawa Barat Netty Heryawan, ada peningkatan dari sebanyak 15 orang korban kekerasan anak setiap tahunnya. ”Meskipun angkanya masih sedikit, bukan berarti penanganan harus tetap sama,” jelas Netty kepada wartawan di Gedung Aula Dinas Pendidikan Jawa Barat, kemarin (13/12).
Dalam acara Diseminasi Informasi ”Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak” bagi guru Sekolah Luar Biasa (SLB), Netty mengungkap, adanya kasus kekerasan pada perempuan dan anak tidak lepas dari latar belakang sosial dan budaya di Jawa Barat. Faktor lainnya yang menjadi penyebab. Di antaranya, faktor kemiskinan, ekonomi, rendahnya pendidikan, pergeseran nilai moral, masalah sosial budaya, pola asuh dan gaya hidup.
Netty mengatakan, terdapat empat jenis kekerasan yang saat ini terjadi. Yakni kekerasan psikis, fisik, seksual dan verbal. Untuk itu, sangat diperlukan parenting skill bagi para orang tua.
Para orang tua sendiri harus menanamkan nilai-nilai agama di keluarga. Hal ini, sebagai benteng awal terhindarnya kasus kekerasan yang terjadi. Baik para korban atau pelaku. Selain dari orangtua, yang para guru harus mengetahui ciri-ciri dari anak.
Dia memaparkan, anak-anak sering kali terjangkit penyakit BLAST yang terdiri dari bosan, sendiri, pemarah, stres dan sedih. Hal ini perlu diketahui oleh para para orang tua. ”Sebagai seorang guru hal-hal tersebut wajib untuk diketahui,” jelasnya.
Peran guru di sekolah, lanjut dia, mengcover hal-hal yang tidak tercover di rumah. Sehingga, peran dari pemerintah dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat teratasi.