Perjuangan Prof Wayan Windia Bersama Petani Lestarikan Subak di Bali

Karena itu, subak bukan sekadar sistem irigasi area persawahan. Subak yang tercatat sudah ada sejak 1071 sekaligus menjadi benteng pertahanan untuk melestarikan lahan pertanian. Itu berarti juga menjaga lahan terbuka hijau agar tetap bisa menyerap air hujan. Kalau ditarik lebih jauh, menghindarkan dari bencana alam seperti tanah longsor dan banjir.

Kata Windia, diperlukan perjuangan 12 tahun untuk meyakinkan Unesco soal arti penting subak. Setelah melewati berbagai penilaian, akhirnya subak dinyatakan sebagai warisan budaya dunia pada Juli 2012. Penghargaan itu tentu amat membanggakan Bali khususnya dan Indonesia umumnya. ”Tapi, bagi sejumlah kalangan, kebanggaan saja tidak cukup. Seorang pejabat bahkan bilang ‘memang kebanggaan bisa dimakan’,” kata Windia. Ada nada kekesalan dalam kata-kata terakhir yang diucapkannya.

Windia lantas menguraikan sebab musabab lahan subak terus-menerus berkurang tiap tahun. Petani tidak bersemangat lagi karena harga padi tidak menentu. Pajak bumi dan bangunan (PBB) juga tinggi. Informasi yang dia dapat dari petani, untuk tanah seluas 70 are atau sekitar 7.000 meter persegi, pajaknya Rp 40 juta per tahun. ”Pengeluaran besar sudah pasti, tapi pemasukan belum tentu. Harganya pun ditentukan orang lain,” ujarnya.

Dengan sedikit berseloroh, Windia menyebut petani subak itu sudah kepanasan, kurus, menghitam, tapi masih dipersulit. Padahal, perannya untuk menyokong kebutuhan dasar berupa pangan begitu besar.

Setelah menempuh perjalanan setengah jam, sampailah kami di pinggir Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Bali. Letaknya sekitar 6 kilometer ke arah utara Denpasar. Di mulut Jalan Sari Gadung terpampang spanduk bertulisan ”Mikamkamin Subak Anggabaya, Subak Umalayu, miwah Subak Umadesa maka Subak Lestari”. Spanduk itu menjadi penanda memasuki kawasan tiga subak percontohan tersebut. Mobil yang dikendarai Windia akhirnya sampai di area pertanian. Terlihat petak-petak sawah menghampar ditanami padi. Ada bunyi gemericik air yang mengalir deras di saluran irigasi pinggir sawah.

Kontur tanah di tiga subak tersebut agak miring. Meskipun tidak berbentuk terasering di perbukitan. ”Tiga subak ini dipilih karena masih bagus sistem irigasinya. Petaninya juga kompak,” jelas Windia sambil berjalan kaki di pematang sawah. Dia menunjukkan inlet dan outlet yang jadi pintu masuk-keluar air. Sawah yang agak jauh dari aliran irigasi dibuatkan saluran air di pinggir pematang sawah. Ada pula bangunan sanggah catu yang terlihat di pojok sawah dekat inlet. Sisa sesaji terlihat di sana.

Tinggalkan Balasan