Setelah doa bersama selesai, setiap masyarakat berebut untuk mendapatkan cipratan air dari daun hanjuang yang sengaja dicipratkan oleh Mak Wiwi, seorang nenek yang merupakan sesepuh kampong. ”Kalau kita terkena cipratan air ini, maka semua keinginan kita akan terwujud. Semua penyakit akan hilang, itu yang dipercaya oleh masyarakat di sini sejak dulu,” ungkap Mak Wiwi, 85, di sela aktivitasnya menciptakan air.
Sementara itu, menurut tokoh adat, Abah Cucu, 65, ritual semacam itu bukanlah merupakan suatu pemusyrikan, melainkan sebagai bentuk rasa terima kasih mereka terhadap Tuhan melalui hal yang pernah dilakukan oleh para wali di zaman dahulu ketika menyebarkan agama Islam. ”Ini hanya sebagai wujud syukur kami, terutama sejak dahulu dipercaya kalau dengan melakukan ritual adat ini akan bisa menolak bala. Lagi pula hal seperti ini memang diajarkan oleh leluhur secara turun temurun. Karena para walipun melakukan hal yang sama ketika menyebarkan agama. Jadi ini bukan pemusyrikan, hanya ngamumule (melestarikan) warisan leluhur,” kata Abah Cucu.
Penyelenggara acara, Vera Azzahra, 30, juga menyatakan hal yang sama, menurutnya penyelenggaraan acara hajat buruan tersebut hanya merupakan salah satu cara untuk melestarikan tradisi yang sudah hampir punah. ”Sebenarnya tradisi semacam ini memang sudah jarang ditemui. Nah, sebagai generasi muda kita memang wajib melestarikannya,” ungkapnya. (yul/fik)