”Beliaulah yang menciptakan beberapa gerakan kolaborasi yang memungkinkan kami untuk menari di atas kursi roda. Mengajarkannya juga dengan sangat sabar karena kan memang agak sulit mengajari kami dengan kondisi begini,” imbuhnya.
Sukarmen mengakui, darah seni mengalir dalam dirinya. Kakaknya, Nyoman Rudiawan, juga sukses dalam menari meski memiliki keadaan yang sama dengan dirinya. Bersama sang kakak dan teman-temannya di yayasan, dia sering tampil untuk mengisi acara di Balai Budaya Gianyar atau ngayah di pura-pura. Terkadang, mereka juga berkolaborasi dengan anak-anak normal lainnya dari Sanggar Sekar Dewata.
Perjalanan Sukarmen dalam belajar menari dan menjalani hidup sebagai difabel tidaklah semudah kelihatannya. Kondisi terparah yang pernah dialaminya adalah saat dirinya duduk di bangku SMP. Penyakitnya sering kambuh sehingga dia tidak bisa menggerakkan tubuh sama sekali. Akibatnya, Sukarmen sering absen di sekolah dan tidak bisa ikut latihan menari di sanggar.
”Kalau di sanggar, mereka masih bisa memaklumi keadaan saya. Tapi, sekolah tidak bisa karena sakitnya terlalu lama hingga lima bulan. Mereka sampai bilang, kalau memang tidak bisa sekolah, ya sudahi saja. Akhirnya, waktu SMP, saya ikut kejar paket B untuk bisa lulus,” jelasnya.
Kini Sukarmen mengambil jurusan software engineering di SMKN 1 Mas Ubud. Meski demikian, menari tetaplah menjadi hobi yang sangat dinikmatinya. ”Sebab, selain memang suka menari, saya ingin membuktikan bahwa difabel juga bisa menari Bali,” tegas anak kelahiran 4 Desember 1998 tersebut.
Lewat semangatnya dalam belajar menari walau terimpit keterbatasan, Sukarmen memiliki misi untuk bisa mengajak anak-anak muda lainnya melestarikan kebudayaan Indonesia. Dia berharap anak-anak muda, baik di Bali maupun seluruh Indonesia, mau mempelajari budaya-budaya asli masing-masing agar tidak punah.
”Cobalah dipikir, orang-orang asing berdatangan ke Indonesia itu kan ingin melihat kebudayaan asli Indonesia yang begitu kaya. Kalau sampai tidak ada lagi yang melestarikan, bagaimana? Meski zaman sudah semakin maju, jangan sampai budaya asli Indonesia ikut terlupakan,” ujar bungsu pasangan Nyoman Mada dan Ketut Taring tersebut.
Inisiatif untuk mengikuti kompetisi Zetizen juga diharapkan bisa membantunya menyebarluaskan misi tersebut. ”Dulu ada volunter di yayasan ini yang berasal dari Selandia Baru. Dia sering cerita tentang keadaan di sana. Jadi sekaligus ada sedikit rasa ingin melihat negara itu secara langsung,” katanya, lantas tertawa.