Pengabdian Sepenuh Hati Djumail, Kepala SLB di Kolaka Timur

”Saya cari informasi dari desa, lurah, atau camat mengenai anak-anak yang berkebutuhan khusus,” katanya mengenai masa awalnya ditugaskan di SLBN Tirawuta.

Sebelumnya, Djumail mengajar di SD Nelombu di Kecamatan Mowewe, Koltim. Kepada para orang tua, dia terus meyakinkan bahwa buah hati mereka yang difabel punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

”Saya tekankan, jika dididik dengan baik, anak-anak berkebutuhan khusus bisa bekerja di tempat-tempat yang baik. Mereka yang tunanetra, misalnya, paling tidak jadi punya mata hati untuk melihat,” katanya.

Kegigihan Djumail melakukan pendataan dan pendekatan akhirnya membuahkan hasil. Satu per satu orang tua anak-anak penyandang disabilitas mendaftarkan buah hati masing-masing.

Demi memberi semangat dan menjaga kesungguhan siswanya belajar, Djumail pun rela mengantar siswa pulang ke rumah dengan menggunakan kendaraan pribadi yang diakuinya masih dibayar secara cicil.

Tapi, tentu tidak semua siswa diantar pulang. Khusus siswa yang rumahnya jauh dan secara fisik mengkhawatirkan. ”Saya pernah dijanjikan mobil (oleh instansi yang berwenang, Red), tapi belum terwujud. Padahal, kalau ada mobil, saya bisa antar semua kalau pulang,” katanya sembari menerawang.

Yang dialami Djumail itu tampaknya menjadi cerita klasik di negeri ini. Salah seorang guru SLBN Tirawuta, Fitriani, mengaku cukup kecewa dengan pemerintah setempat karena tidak pernah memberikan perhatian berarti kepada sekolah tersebut. ”Sekolah begini yang harus diperhatikan pemerintah setempat. Karena yang dibina adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” ucap dia.

Dia menuturkan, tidak semua guru mampu mengajar dan mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. ”Kalau mengajar di sekolah biasa (non-SLB, Red), itu lebih mudah,” katanya.

Tapi, minimnya perhatian itu sama sekali tak menyurutkan semangat pengabdian Djumail. Agar memudahkan dirinya mendidik siswa, ayah lima anak tersebut memutuskan untuk tinggal di sekolah. Sebab, siswa harus disambut saat datang ke sekolah pagi hari.

Jadilah ruangan kepala sekolah dia ubah menjadi tempat tinggal bersama istri dan anaknya. ”Saya tidak merasa keberatan pindah ke sini. Saya bersyukur karena SLBN ini harusnya dibangun di Kolaka Utara. Tapi, berkat perjuangan pemerintah, kami sudah punya SLBN,” paparnya.

Tinggalkan Balasan