3.143 Perda Dibatalkan Pemerintah, Anggaran Triliunan Sia-sia

Menanggapi keputusan pemerintah pusat tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Saiful Ilah menyatakan bahwa penghapusan perda dan peraturan kepala daerah tidak bisa begitu saja dilakukan. Melainkan, harus ada komunikasi pula dengan pemerintah daerah terlebih dahulu. ”Harus dikaji dulu,” terang Saiful.

Bupati Sidoarjo itu menuturkan, ada banyak risiko penghapusan perda. Dengan pembatalan perda, artinya ada kekosongan aturan yang sebelumnya telah ada. ”Kalau dihapus, nanti akan banyak pelanggaran yang dilakukan. Aturan tidak bisa ditegakkan karena dasar hukumnya dihapus,” imbuh Saiful.

Pembatalan perda itu juga ditanggapi Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi). Sekretaris Jenderal Adkasi Agus Solihin mengaku heran dengan pemerintah pusat yang hendak menghapus perda tersebut. Dia menyebutkan, dalam pembentukan perda itu, juga ada review dari pemerintah pusat sebelum diundangkan. ”Daerah juga berkonsultasi dalam pembentukan perda itu. Konsultasinya juga ke Kemendagri,” ujar ketua DPRD Kabupaten Tegal tersebut.

Selain itu, dia berharap pemerintah jeli dalam melihat lokalitas. Dia mencontohkan, di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada peraturan yang harus dihapus karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya. Yakni, perda setempat yang mengatur pemberian hibah berupa tanah kepada pemda. ”Padahal, kondisi di sana sangat membutuhkan itu. Kalau dihapus, nanti akan berpengaruh langsung ke pemda itu,” tambahnya.

Berbeda dengan Adkasi, Ketua Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) Armuji justru mendukung upaya koreksi pemerintah tersebut. Dia mengungkapkan, sering kali ada daerah yang membuat aturan yang menguntungkan kepentingan daerah. ”Ada daerah yang ngotot tetap bikin perda. Karena mereka menganggap itu diskresi bagi daerah,” kata ketua DPRD Kota Surabaya itu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) Rohman Budijanto mengatakan, setiap keputusan pembatalan perda selalu bervisi pemerintah pusat. Padahal, belum tentu perda yang dibatalkan bertentangan benar dengan hierarki perundangan.

Selain itu, pembatalan perda selalu berdimensi pemborosan. ”Katakanlah, untuk membuat satu perda dibutuhkan Rp 1 miliar. Kalau ada 3.000 lebih perda yang dibatalkan, berarti ada uang Rp 3 triliun yang disia-siakan. Ini tak masuk akal,” urai Roy -sapaan akrab Rohman Budijanto-saat dihubungi kemarin.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan