Agung Trisnawanto yang Sukses Ubah Wukirsari Jadi Sentra Penangkar Burung

Di berbagai sudut rumah, digantung puluhan, bahkan ratusan, sangkar yang berisi berbagai macam burung. Koleksi termahal, cucak rowo, sengaja disimpan di dapur rumah. Kicau burung mulai jalak suren, cucak rowo, cucak hijau, lovebird, perkutut, hingga berbagai jenis burung lain bersahutan tanpa henti.

Agung menyatakan hanya tinggal dua bulan di Madiun. Setelah itu, dia bersama bapaknya berjualan burung di Bali, tepatnya di Gianyar. Di sana, Agung awalnya berjualan dengan pikulan sampai akhirnya bisa mangkal di salah satu sudut kota pada 2000. ”Saya diminta ngontrak di situ sampai kemudian punya beberapa kios,” ujar bapak satu anak itu.

Menurut Agung, untuk mendapatkan burung, dia harus kulakan di Pasar Pramuka Jakarta sampai pasar burung di Depok, Solo. Kebetulan, di dua pasar itu, juga di pasar burung di banyak kota di tanah air, mayoritas adalah orang Wukirsari.

Namun, saat itu mereka hanya menjual. Tidak berani untuk menangkarkan. ”Saya dapat ilmu penangkaran ya sambil berjualan, terutama dari teman di Malang sama di Solo,” kata Agung.

Ilmu penangkaran itu lantas dia mulai coba sendiri pada 2006 di Wukirsari. Sambil tetap rutin kembali ke Gianyar untuk menunggui kios miliknya.

Setelah dua tahun, usaha penangkaran tersebut menunjukkan hasil menggembirakan. Kebanyakan burung yang dijualnya adalah hasil jerih payahnya, bukan dari kulakan. ”Saya tahun 2008 pulang, fokus penangkaran saja. Kios diurus sama saudara,” ujarnya.

Dengan menangkarkan burung, setiap bulan Agung bisa mendistribusikan ribuan burung dengan berbagai jenis ke berbagai kota di Indonesia. Perputaran uangnya bisa lebih dari Rp 1 miliar untuk distribusi itu.

Karena merasa mendapat manfaat dari menangkarkan burung itulah, Agung mulai berinisiatif menularkan ilmunya kepada warga sekitar Wukirsari. Tujuannya, para tetangganya bisa mandiri dari burung. Tidak sekadar menjual, lalu pensiun di hari tua.

”Dulu itu 90 persen masyarakat sini ya jual burung. Kalau tua pensiun, uangnya habis, minta sama anaknya. Nggak ada yang bisa dikelola,” ujar pria 33 tahun itu.

Sigit Fitrianto termasuk yang merasakan manfaat mengikuti ajakan Agung untuk menangkarkan burung. Pria 25 tahun itu mengatakan mulai digaduh oleh Agung sekitar satu tahun lalu, setelah melepas masa lajang. Sebelumnya, seperti Agung dulu, Sigit lebih sering menjadi pedagang burung pikulan di sekitar Jakarta. ”Ya, sekali pikul bisa 24 sangkar. Banyak,” kata Sigit.

Tinggalkan Balasan