Masih Ada Penolakan dari Kalangan Pesantren, Cirebon Bisa Hambat Target PIN Jabar

Persoalan berikutnya yang muncul adalah semakin tingginya aktivitas di masyarakat. Artinya, para petugas kesehatan di kabupaten dan kota harus pandai mengatur waktu pelaksanaan PIN yang tepat. Misal, pelaksanaan sore hari di daerah yang mayoritas ibu pemilik balitanya pekerja pabrik. Bukan sebaliknya, memaksakan waktu tapi balitanya tidak ada. ’’Ini yang disebut antisipasi lokal,’’ terang Alma.

Ditambah, kata Alma, realita menyebut, baru 56 persen masyarakat di Jabar yang membuang veses di kakus. Sisanya bisa di mana saja, termasuk sungai. Sedangkan penyebaran polio salah satunya melalui veses yang ada polionya. Dengan begitu, sangat rentan virus polio menyebar.

Karena itu, bagi Alma, penolakan terhadap PIN saat ini sudah sangat tidak relevan. Justru, kesuksesannya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat secara epidemologi sampai tahun 2020. Hingga akhirnya mendapat pengakuan dari WHO bahwa Indonesia terbebas dari polio. Di samping itu, pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN menuntut keamanan kesehatan. Artinya, jika ditemukan kasus polio di Indonesia, bukan tidak mungkin membawa kecemasan bagi negara lain di negara anggota ASEAN. ’’Jangan sampai kejadian 2005 terulang. Ditemukan kasus polio (di Jabar) yang jadi isu nasional,’’ kata dia.

Alma menambahkan, di samping itu, mendapatkan kesehatan bagi anak-anak adalah hak. Lalu, sudah menjadi kesepakatan bersama pihaknya bakal maksimal menggerakkan sasaran balita usia 0-9 bulan untuk mendapat PIN. Pelaksanaanya, tanggal 8 sampai 15 Maret dan tidak bisa diperpanjang lagi. ’’Kita punya waktu satu minggu lagi (sebelum PIN). Jangan putus asa. Ini justru tantangan,’’ ungkap dia seraya menyampaikan, pelaksanaan PIN 2016 secara nasional juga dilakukan di Jabar oleh Presiden Jokowi. Lokasinya bisa Depok atau Bogor. (hen)

Tinggalkan Balasan