Dirga Suryadi, anggota A2DC, mengatakan bahwa pengamatan sembari menyelam itu akan dilakukan di perairan Marantale, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Menurut Dirga, Marantale dipilih lantaran di spot tersebut gerhana matahari akan terlihat 100 persen. ”Selain itu, perairannya tenang,” ucapnya.
Lantas, apa yang akan diamati di bawah laut jika kondisinya gelap gulita? Dirga mengatakan, justru itu merupakan hal yang menarik. Dari riset yang dia lakukan, GMT akan membuat pusing hewan yang hidup di air.
Ikan yang keluar pada malam hari tiba-tiba akan keluar, sedangkan ikan yang beraktivitas pagi seketika akan tidur. Lantaran lama gerhana singkat, biota laut itu akan dibuat bingung. ”Nanti akan menarik. Kami akan rekam,” terangnya.
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) juga tak mau ketinggalan bakal melakukan pengamatan. Peneliti Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lapan Emanuel Sungging Mumpuni menyebutkan, ada lima peneliti NASA yang akan ikut bergabung dengan tim Lapan. Pengamatan itu, terang Sungging, akan dilakukan di Maba, Halmahera Timur. ”Untuk riset gerhana,” ungkapnya, ”Ini kali pertama kerja sama peneliti Indonesia dengan NASA.”
Tentu para pegiat Jejak Langit juga tak kalah sibuk. Gigih mengaku akan berangkat duluan ke Belitung sebelum rombongan bertemu pada 8 Maret. ”Saya harus mempersiapkan segala sesuatunya,” kata dia.
Sementara itu, Donna berharap efek GMT tak hanya dirasakan pada hari H, tapi juga setelahnya. Sehingga semakin banyak orang yang menggemari astronomi. Terutama kalangan anak-anak dan anak-anak muda. ”Setelah gerhana, kami berencana bikin tur astronomi rutin. Misalnya melakukan pengamatan di Bromo,” jelasnya. (*/c9/ttg/rie)