Sejauh ini, Dinsos tak miliki anggaran khusus dalam perlindungan eks anggota Gafatar. Tetapi, tetap diusahakan. ’’Di sini negara hadir untuk tak telantarkan masyarakat yang sedang kesusahan,” sebut Ajie.
15 eks Gafatar yang semula diberi kontrakan sementara di Ujung Berung, sedang berusaha bangkit dari keterpurukannya. Sementara yang dipulangkan pada gelombang ketiga sebanyak sembilan orang sudah kembali pada kelurganya.
Pekerjaan ini, sebetulnya keputusan cukup berat dan beresiko. Sebab, seharusnya ada tim khusus yang bentuk Pemkot Bandung, dalam menuntaskan persoalan warganya yang terbelit masalah.
Dinsos melihat tugas pokok sebatas merehabilitasi warga bermasalah. ’’Selebihnya ada pada kewenangan pucuk pimpinan,” tukas Ajie.
Menyoal penampungan eks Gafatar di Rumah Singgah, itu langkah antisipatif mengingat belum rampungnya Pusat Kesehatan Sosial (Puskesos). ’’Pendataan, konsolidasi internal keluarga saja yang dilaksanakan di Rumah Singgah,” imbuh Ajie.
Menyoal ketersediaan anggaran untuk kasus seperti eks Gafatar, Ajie berkilah, tak miliki anggaran khusus. Tetapi demi kemanusiaan merasa peduli, Dinsos mencarikan dari luar kedinasan.
Sementara Ketua Komisi D Achmad Nugraha menyatakan, seharusnya yang mengambil langkah darurat adalah pemerintah kota, bukan setingkat SKPD.
Legislator apresiasi atas langkah dan kesigapan Dinsos dalam menyelesaikan eks Gafatar, yang dimotori kepala dinas dan sekretaris. Pencarian dana sendiri dan berjuang untuk memulihkan kepercayaan keluarga dan masyarakat, terhadap eks Gafatar itu bukan perkara mudah. ’’Ini pekerjaan mulia, dan buktikan soliditas pucuk pimpinan Dinsos berjalan baik. Patut dicontohlah oleh SKPD lainnya,” tukas Amet-sapaan akrabnya.
Pemkot Bandung, sudah seharusnya membentuk tim. Pasalnya Dinsos adalah pelaksana, sementara penyelesaian masalah secara menyeluruh ditanggung Pemkot Bandung. ’’Intinya, Dinsos harus dicontoh. Inisiasi ini harus diapresiasi walikota Bandung,” tandas Amet. (edy/vil)