[tie_list type=”minus”]Pertamina Cegah Rugi saat Harga Minyak Anjlok[/tie_list]
bandungekspres.co.id– Penurunan harga minyak dunia menjadi dilema bagi Pertamina. Sebab, potensi pemangkasan karyawan sangat terbuka. Hal itu terjadi karena biaya produksi di sejumlah tempat pengolahan badan usaha milik negara (BUMN) tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual. Jika diteruskan, Pertamina berpotensi merugi.
Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, opsi pengurangan karyawan bisa terjadi di level upstream (hulu) dan midstream (pengolahan). Saat ini perseroan memiliki beberapa lokasi pengolahan dengan ongkos produksi lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga minyak dunia.
”Lihat beberapa kondisi. Karena memang harga pasar (turun, Red) seperti itu. Tetapi, kan kita sendiri, aset produksi yang sedang kita lakukan, termasuk offshore (pengeboran lepas pantai, Red), itu kan di atas (harga pasar, Red) itu biaya produksinya,” kata Dwi di sela diskusi Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS) di Hotel Grand Kemang, Jakarta, kemarin.
Dia lantas mencontohkan biaya produksi blok West Madura itu, yang mencapai sekitar USD 40 per barel. Biaya produksi Pertamina Hulu Energi Off North West Java (PHE ONWJ) juga lebih dari USD 30 per barel. Pada akhir pekan kemarin, harga minyak mentah dunia berada di level USD 33,2 per barel (WTI) dan USD 33,74 per barel (Nymex).
Kondisi itu memunculkan pertanyaan, apakah Pertamina akan menghentikan produksi atau bertahan dengan risiko hampir pasti merugi. Memang masih ada kemungkinan kerugian tidak terlalu parah dalam kondisi tetap beroperasi. Caranya, mengombinasikan pos produksi yang masih untung untuk menutupi kerugian di pos produksi lain.
Opsi tetap berproduksi tanpa mengurangi jumlah karyawan masih diupayakan. Terlebih, papar Dwi, Pertamina merupakan perusahaan negara yang tidak semata mencari keuntungan. ”Kita kan tidak hanya bicara profit, tapi juga penyediaan tenaga kerja. Jadi, mix (subsidi silang pos untung dan rugi, Red) ini harus diperhitungkan sehingga penentuan harga jual di lapangan seperti apa,” tutur dia.
Bila dikaitkan dengan strategi harga jual bahan bakar minyak (BBM) di hilir, Dwi mengatakan bahwa masih ada waktu hingga Maret 2016 untuk kembali meninjau harga. Khususnya untuk premium dan solar bersubsidi karena harganya diatur pemerintah. ”Kalau yang ada di kewenangan Pertamina seperti pertamax, avtur, dan gas nonsubsidi, sudah dilakukan penurunan harga,” ucap mantan Dirut PT Semen Indonesia Tbk itu.