Cerita Anak-anak Suku Dayak Amandit Menggapai Asa

[tie_list type=”minus”]Jalan 7,5 Km, Kaki Lecet dan Nyaris Jatuh ke Sungai[/tie_list]

Tidak seperti anak-anak kota yang punya banyak pilihan moda transportasi untuk ke sekolah, para murid SDN Loklahung, Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, harus berkalang peluh. Bahkan, mereka bertaruh nyawa hanya untuk ke sekolah.

SUSILO, Kalimantan Selatan

SDN LoklahungMALAM belum beranjak pergi. Semburat sang fajar pun belum tampak. Alam masih terbuai dalam peraduan. Namun, Alda sudah berkemas. Gadis cilik yang kini duduk di kelas IV SDN Loklahung itu bergegas menggendong tasnya yang berisi buku-buku. Dia lantas pamit, mencium tangan neneknya yang masih berbaring di kasur. Alda selama ini tinggal bersama neneknya di Dusun Manakili, Kecamatan Loksado.

Sebuah dusun di kaki Gunung Meratus. Untuk menuju ke Loksado, dibutuhkan waktu empat jam dari Bandar Udara Syamsudin Noor melalui jalur darat sejauh 175 km.

Orang tua Alda, Dulipi, 50, dan Arasah, 41, bekerja dan menetap di daerah perkotaan Loksado. Hampir setiap hari Alda berangkat ke sekolah lebih awal. Kira-kira pukul 04.15 Wita. Saking paginya, dia tidak sempat menyantap sebutir nasi pun untuk sarapan.

Perjalanannya ke sekolah dari Manakili sejauh 7,5 km. Jarak itu pun ditempuh dengan berjalan kaki. Alda harus melewati medan yang tidak bersahabat. Mulai hutan yang dikelilingi pepohonan nan menjulang, jalan setapak berbatu, sampai meniti jembatan kayu usang sepanjang 80 meter yang di bawahnya mengalir sungai berarus deras. ”Sering juga kehujanan,” kata Alda, lantas tersenyum.

Pada siang terik tersebut, Alda berbincang dengan Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) di ruang guru SDN Loklahung. Hari itu wartawan koran ini singgah dalam rangkaian corporate social responsibility (CSR) Datsun Risers Expedition Etape 2 yang berlangsung pada 19-22 Januari.

Tidak terpancar di wajahnya mimik kesedihan. Justru sebaliknya, Alda begitu bersemangat menceritakan perjalanannya ke sekolah. Namun, dia terdiam sejenak. Gadis itu seakan teringat sesuatu.

Ya, pengalamannya melewati jalan setapak berbatu. Kala itu kilat petir menyala-nyala. Tanda hujan segera turun. Alda lantas berlari secepatnya agar seragamnya tidak basah. ”Kaki sempat lecet karena terpeleset dan kena batu,” ungkapnya dengan logat Melayu Banjar, khas suku Dayak Amandit yang mendiami hulu sungai pegunungan Meratus.

Tinggalkan Balasan