Di sisi lain, dia mafhum kalau Lapindo benar-benar ingin melakukan pengeboran. Selain ingin mendapatkan uang untuk mengganti pinjaman pemerintah yang dipakai ganti rugi, perusahaan juga memegang Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) Blok Brantas sampai 2020.
’’Kalau tidak bisa bekerja, sama saja diberi utang tapi kakinya diikat supaya tidak bisa mendapat uang,’’ jelasnya.
Terpisah, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rynaldi Dalimi menyebut langkah SKK Migas untuk memanggil Lapindo adalah tindakan tepat. Sebagai organisasi yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, DEN melihat aspek bisnis tidak boleh mengalahkan keamanan.
’’Bisnis itu nomor kesekian. Tingkat kepercayaan pemerintah ke Lapindo, dan keamanan itu sangata penting,’’ tandasnya. Dia berharap agar SKK Migas bisa memanfaatkan momen pemanggilan untuk menggali banyak informasi. Kalau tidak yakin dengan Lapindo, izin jangan diberikan.
’’Lapindo harus hati-hati. Kalau terjadi lagi, bisa tidak diberikan lagi izinnya,’’ jelas Rinaldy. Selain itu, dia meminta kepada SKK Migas juga tidak sembrono dalam memutuskan izin Lapindo. Seperti saat ini, mengulang ritme yang dilakukan para pembantu presiden. Menteri mengeluarkan kebijakan, lantas dianulir oleh presiden.
’’Sebelum memutuskan sesuatu, pertimbangannya harus matang. Semua kemungkinan dikaji,’’ pintanya. Kalau memang dinyatakan aman, Lapindo boleh melakukan pengeboran dengan berbagai syarat. Mulai dari apa yang dilakukan kalau sampai terjadi bencana, dan jangan dibebankan lagi pada pemerintah.
’’Lapindo harus menunjukkan dan meyakinkan kemampuannya. Kalau tidak mampu, jangan dikasih,’’ terangnya.
Rinaldy sendiri berpandangan bahwa izin tidak masalah diberikan kepada Lapindo. Sebab, teknologi pengeboran sebenarnya sudah punya tingkat keamanan yang tinggi. Di samping itu, gas yang dikeluarkan dari perut Sidoarjo juga memiliki tingkat keekonomian yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. ’’Saya yakin, dibatalkannya izin karena pemerintah melihat Lapindo tidak berhasil meyakinkan soal keamanan,’’ terangnya.
Sementara, pengamat energi Fabby Tumiwa menyebut masyarakat di sekitar lokasi pengeboran berhak mendapat kepastian keamanan. Apalagi, lumpur dari bencana yang sudah berjalan hampir 10 tahun tidak kunjung berhenti. ’’Masyarakat harus dilibatkan untuk memberikan persetujuan dong,’’ jelasnya.