bandungekspres.co.id– Pemkab Bandung Barat kembali melakukan pengukuran terhadap tanah warga yang terkena mega proyek PLTA Upper Cisokan pada Selasa (20/10) lalu. Pasalnya, sebanyak 134 orang pemilik tanah di Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat mempersoalkan hasil ukur tanah mereka. Warga yang terkena proyek tersebut merasa tanah miliknya jauh lebih luas dibandingkan dengan hasil pengukuran pemerintah.
”Kita ekpose ke lokasi dan mengukur kembali tanah warga. Memang dari sisi pengukuran masih ada persoalan makanya kita datang. Kalau dari sisi harga jual tanah, sudah tidak ada masalah, warga menyetujuinya,” kata Kabag Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Bandung Barat Yadi Azhar di Ngamprah kemarin (21/10).
Diungkapkan Yadi, pemilik tanah yang belum sepakat itu berasal dari Desa Sukaresmi sebanyak 46 warga terkena proyek (WTP) yang memiliki 71 bidang tanah seluas 10,57 hektare. Di Desa Cicadas terdapat 8 WTP pemilik 13 bidang tanah dengan luas 1,4 hektare, dan Desa Bojongsalam terdapat 80 WTP. Tanah warga di Bojongsalam berbatasan dengan tanah milik Perhutani. ”Kita akan selesaikan agar tidak lagi menjadi persoalan di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Yadi menambahkan, hasil verifikasi tim Panitia Pengadaan Tanah (P2T) ditemukan berbagai kasus yang menjadi penyebab tidak samanya hasil pengukuran pemerintah dengan bukti kepemilikan tanah yang dipegang warga. Salah satu contohnya ada tanah warisan yang sudah dijual orangtuanya kepada orang lain, namun pada surat tanahnya masih tercantum luas tanah lama.
”Setelah diperiksa ternyata sebagian tanahnya sudah berpindah kepemilikan kepada orang lain. Hanya sayangnya setelah tanah itu dijual tidak dilakukan perubahan sertifikat ataupun bukti kepemilikan tanah lainnya. Akibatnya para ahli waris masih beranggapan luas tanahnya seperti yang tercantum dalam surat kepemilikan lama,” ungkapnya.
Lebih jauh Yadi menjelaskan, sesuai kesepakatan harga tanah ladang Rp84.000 per meter persegi, sawah Rp 110 ribu per meter persegi, dan pekarangan Rp 88.500 permeter persegi. Tidak hanya tanah yang diganti, namun juga menghitung bangunan, termasuk tanaman. ”Semua perhitungan penggantian ini tidak akan merugikan masyarakat, jadi sebenarnya tidak ada istilah ganti rugi tapi ganti untung. Sebagai bukti ada seorang warga yang tanahnya terkena proyek mendapat penggatian sampai Rp4 miliar. Dia sama sekali tidak menyangka tanahnya yang berada di pegunungan dihargai sampai Rp 4 miliar,” ujarnya.