Beberapa pengunjung lain juga diberi tahu sama. Maka kami pun jalan ke 23rd Street untuk nonton lomba, dan berencana kembali pukul 12.30.
Ketika kembali, pintu gereja sudah terbuka. Dengan penuh antusias, Baird menyambut kami kembali. Mempersilakan kami masuk ke dalam.
Begitu masuk, kami berjalan ke isle (lorong) sisi kiri. Di ujung depannya ada plakat tentang ’’Liberty or Death” dan Patrick Henry. Di situlah Henry berdiri saat berorasi pada 1775 lalu.
Di sana, kami juga bertemu dengan Sarah F. Whiting, executive director St. John’s Church Foundation (yayasan). Penasaran melihat kami datang berbaju batik, dia bertanya kami dari mana. Kami jawab dari Indonesia, dan dia jadi bersemangat.
Menurut Whiting, sekitar 40 ribu turis mengunjungi Gereja St. John’s setiap tahunnya. Pihaknya juga banyak melakukan program kunjungan sekolah, dan para pelajar diberi suguhan suasana semirip mungkin dengan suasana 1775 lalu.
’’Ada 20 aktor berdandan kolonial, lalu merekayasa ulang peristiwa bersejarah itu”, ungkap Whiting. ’’Karena kami mendapat dana dari pemerintah, maka siswa-siswa itu bisa berkunjung dengan gratis”, tambahnya.
Kami pun mendapat suguhan performa Baird menirukan orasi Henry. Duduk di baris terdepan, Henry meminta kami untuk ikut konsentrasi. ’’Anda harus membantu saya merasakan atmosfer waktu itu. Henry telah berbicara 20-30 menit, dan saya akan mengutip bagian akhir pidatonya,’’ tuturnya.
Dengan lantang dan gaya full action, Baird pun berakting ala Henry. Dan menutupnya dengan kalimat terpenting itu:
’’Is life so dear, or peace so sweet, as to be purchased at the price of chains and slavery? Forbid it, Almighty God! I know not what course others may take; but as for me, give me liberty, or give me death!”.
Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
’’Apakah hidup ini begitu disayangkan, atau kedamaian begitu manis, sehingga harus rela dibayar dengan belenggu rantai dan perbudakan? Jangan biarkan itu terjadi, Tuhanku yang Maha Kuasa! Saya tak tahu orang lain akan mengambil langkah apa. Tapi bagi saya, berilah saya kemerdekaan, atau biarkan saya mati!”