Di antara sekian teman seangkatan Mahfud saat mondok di Gontor, beberapa masih dia ingat. Antara lain, Prof Dr Ris’an Rusli yang kini menjadi guru besar di UIN Raden Patah Palembang dan Dr H M. Yunus Abu Bakar, doktor lulusan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Rencananya, tahun depan Mahfud menghadiri reuni alumni Pondok Gontor. Dia akan datang bersama sang istri, Yantini Suwarno, perempuan asli Jogjakarta. ”Mudah-mudahan saya masih bisa bertemu kawan-kawan seangkatan. Wah, senang sekali rasanya,” ujarnya berharap.
Yang jelas, berkat ”perjuangan” Mahfud dan umat Islam di Suriname (sekitar 80 ribu jiwa, termasuk 40 ribu di antaranya muslim keturunan Jawa), mulai 2011 pemerintah Suriname mengakui Idul Adha sebagai hari libur nasional. Sebelumnya, sejak 2001, Idul Fitri ditetapkan sebagai hari libur bagi seluruh rakyat negara berpenduduk sekitar 580 ribu jiwa tersebut.
Bertemu Yantini di Jogja
Setamat dari Pondok Gontor, pada 1985, Mahfud tidak langsung pulang ke negaranya. Dia diberi kesempatan untuk mempelajari bahasa Jawa di Jogja. Saat itulah dia bertemu Yantini Suwarno, gadis asal kampung Nologaten, Sleman, Jogjakarta (belakang Hotel Ambarukmo). Kala itu, Mahfud yang tinggal di kos-kosan dekat rumah Yantini aktif di Masjid Baiturrohim. Bahkan menjadi ketua pemuda masjid.
Pertemuan pertama terjadi ketika remaja masjid menyembelih hewan kurban saat Idul Adha. Yantini yang sedang mudik -dia bersekolah di Jakarta- tidak sengaja beradu pandang dengan pemuda Mahfud. Hebatnya, tanpa melalui pacaran, keduanya sepakat untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
”Bagaimana mau pacaran wong saya tinggal di Jakarta, sedangkan Pak Mahfud di Jogja. Yang jelas, dari pertemuan pertama itu, saya sudah jatuh hati,” cerita Yantini, lantas tersenyum.
Tidak berapa lama, pada 1986, mereka menikah. Dan, 17 April 1987, Yantini diboyong Mahfud pulang ke negaranya. Sejak itu, Yantini mendampingi sang suami yang bertugas sebagai tentara sekaligus ustad di Suriname.
Yantini mengaku tidak berkeberatan tinggal di Suriname, negara yang jauhnya mesti ditempuh sekitar 26 jam penerbangan. Bahkan, dia merasa enjoy hidup di negeri ”cuwilan Jawa ning pucuk donya” tersebut. Toh, kata dia, dirinya masih tetap menjadi WNI (warga negara Indonesia) dan bisa pulang ke kampung halaman, kapan pun dia mau. ”Saya kan harus ikut suami,” tutur perempuan 50 tahun tersebut.