Mahfud mengaku bisa tetap eksis di posisinya saat ini berkat gemblengan Pondok Pesantren ”Darussalam” Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Dia memang lulusan pondok pesantren modern itu dan selalu membanggakannya sampai sekarang.
”Harus saya akui, semua ini berkat didikan keras dan disiplin yang tinggi di Gontor. Saya merasakannya sampai sekarang,” tutur Mafhud yang fasih berbahasa Jawa maupun Indonesia.
Mahfud mondok di Gontor selama lima tahun pada 1980-1985. Dia mendapat beasiswa dari Kementerian Agama RI (dulu Depag) untuk mendalami ilmu agama Islam di pondok asuhan KH Abdullah Syukri Zarkasyi itu. Beasiswa tersebut diberikan kepada Federatie Islamitische Gemeente Suriname (FIGS/Federasi Islam Suriname), kelompok Islam ortodoks di Suriname yang masih memegang teguh adat istidat orang Jawa, termasuk dalam arah kiblat salat yang menghadap ke barat (berdasar letak geografis, arah kiblat salat yang benar di Suriname ke timur). ”Waktu itu, saya sudah jadi tentara. Saya ikut wamil, wajib militer,” katanya.
Selama di Pondok Gontor itulah, ujar Mahfud, dirinya benar-benar mendapat siraman ilmu agama Islam yang benar dan mencerahkan. Karena itu, begitu kembali ke Suriname, hal pertama yang perlu dia luruskan adalah soal mitos-mitos yang kurang benar dan diyakini orang keturunan Jawa yang memegang teguh adat nenek moyangnya. Mahfud pun langsung menjadi dai. Tidak hanya untuk masyarakat umum, dia juga bersyiar agama di lingkungan tugasnya di korps tentara Suriname.
”Saya sangat lama memimpin unit kerohanian Islam di korps tentara Suriname. Baru pada 2011 saya dipindah ke Kementerian Dalam Negeri,” papar bapak lima anak tersebut.
Meski begitu, sampai sekarang, Mahfud tetap aktif memberikan ceramah agama di masjid-masjid atau kelompok-kelompok pengajian di Suriname. ”Itu tugas akhirat. Jadi, harus tetap saya jalankan kapan pun,” tegasnya.
Selama di Gontor, banyak kenangan yang dirajut Mahfud. Dia mengaku harus cepat beradaptasi, terutama terkait dengan bahasa. Dia harus bisa menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia sekaligus. Sebab, di Gontor, bahasa Inggris dan bahasa Arab menjadi alat komunikasi sehari-hari. Begitu pula bahasa Indonesia. Dan, bagi Mahfud, bahasa Indonesia termasuk bahasa asing yang harus pula dipelajari.